MATERI KESEHATAN PENGEMBANGAN OBAT
PENGEMBANGAN OBAT (DEVELOPMENT OF DRUG)
Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau
isolasi dari berbagai sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk
mengobati lemah jantung), jaringan hewan (heparin untuk mencegah pembekuan
darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai antibiotik pertama), urin manusia
(choriogonadotropin) dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin
untuk menangani penyakit diabetes. Dengan mempelajari hubungan struktur
obat dan aktivitasnya maka pencarian zat baru lebih terarah dan memunculkan
ilmu baru yaitu kimia medisinal dan farmakologi molekular. 7
Sebagian besar
obat baru atau produk obat ditemukan
atau dikembangkan melalui satu atau lebih dari enam pendekatan berikut: 7
- Identifikasi atau
elusidasi target obat baru
- Desain obat baru
yang rasional berdasarkan pemahaman akan mekanisme biologik, struktur
reseptor, dan struktur obat.
- Modifikasi molekul
terkait secara kimiawi.
- Skrining terhadap
aktivitas biologik produk-produk alamiah, kumpulan berbagai unsur kimiawi
yang telah ditemukan sebelumnya, dan kumpulan berbagai peptida, asam
nukleat, dan molekul organik lainnya.
- Bioteknologi dan
kloning menggunakan gen untuk menghasilkan berbagai peptida dan protein.
Upaya untuk menemukan target dan pendekatan dalam pengembangan dan
penemuan obat baru terus dilakukan melalui berbagai penelitian dalam
bidang genomik, proteomik, asam nukleat dan farmakologi molekuler untuk
terapi medikamentosa. Peningkatan jumlah target obat pada penyakit secara
signifikan hendaknya memotivasi pembaruan dan peningkatan obat.
- Kombinasi berbagai
obat yang telah dikenal untuk mendapatkan efek aditif atau sinergistik
atau reposisi obat tersebut untuk keperluan pengobatan yang baru.
Penyaringan Obat
Tanpa memandang sumber atau gagasan utama yang
mengarah pada suatu molekul kandidat obat, uji obat melibatkan serangkaian
eksperimen dan penelitian pada makhluk hidup yang dilaksanakan secara
konsisten. Proses ini dinamakan skrining obat. Beragam uji (assay) biologik pada hewan percobaan
baik pada tingkat molekular, selular, organ, maupun holistik digunakan untuk
menentukan aktivitas dan selektivitas obat. Jenis dan jumlah uji skrining awal
bergantung pada tujuan farmakologi dan terapeutik. Berbagai obat anti-infeksi
akan diuji terhadap berbagai organisme penyebab infeksi, beberapa diantaranya
menunjukkan resitensi terhadap obat standar, dan berbagai obat hipoglikemik
akan diuji kemampuannya untuk menurunkan gula darah, dan sebagainya. Selain
itu, kumpulan berbagai kerja lainnya dari satu molekul juga akan diteliti untuk
menentukan mekanisme kerja dan selektivitas obat. Hal ini mempunyai keuntungan
karena dapat memperlihatkan berbagai efek toksik baik yang diduga maupun yang
tidak diduga. Terkadang, seorang pengamat yang cukup teliti dapat menemukan
suatu efek terapeutik yang tidak diduga sebelumnya. Pemilihan molekul-molekul
yang akan diteliti lebih lanjut paling efisien dilakukan melalui model penyakit
manusia pada hewan percobaan. Pada umumnya, manusia memiliki obat-obatan yang
adekuat untuk berbagai keadaan dengan model perkiraan pra klinis yang baik
(contohnya obat antibakterial, penyakit hipertensi atau trombotik). Untuk
penyakit yang memiliki model pra klinis yang buruk atau yang sama sekali belum
memiliki model pra klinis, seperti pada penyakit Alzheimer, obat-obatan yang
adekuat umumnya belum tersedia dan jarang terdapat terobosan baru dalam
peningkatan terapi. 7
Selama skrining obat berlangsung, berbagai
penelitian dilakukan untuk mendapatkan profil farmakologis obat tersebut pada
tingkat molekular, selular, sistem, organ, dan orgnisme. Sebagai contoh,
serangkaian uji akan dilakukan terhadap suatu obat yang dirancang sebagai
antagonis adrenoseptor-α pembuluh darah untuk pengobatan hipertensi. 7
Pada tingkat molekuler, skrining akan
dilakukan terhadap senyawa tersebut untuk menentukan afinitas ikatan dengan
reseptor pada membran sel yang mengandung berbagai reseptor α (jika
memungkinkan, pada reseptor yang terdapat pada manusia), pada berbagai reseptor
lainnya, dan pada tempat pengikatan enzim. Jika struktur kristal obat beserta
targetnya tersedia, analisis struktur biologi atau skrining virtual dengan
menggunakan komputer (computer-assisted virtual screening) dapat dilakukan
untuk lebih memahami interaksi obat dengan reseptor. Berbagai penelitian awal
dapat dilakukan untuk memperkirakan efek-efek yang mungkin akan menyebabkan
metabolisme obat yang tidak diinginkan atau komplikasi toksikologik. Sebagai
contoh, penelitian terhadap enzim sitokrom P450 hati dilakukan untuk menentukan
apakah obat tersebut berfungsi sebagai substrat atau inhibitor enzim tersebut
atau akan mempengaruhi metabolisme obat lain. Pengaruhnya terhadap kanal ion
jantung seperti kanal kalium hERG, yang diperkirakan dapat menyebabkan aritmia
yang mengancam jiwa, dapat dipertimbangkan. 7
Pengaruhnya terhadap fungsi sel akan diteliti
untuk menentukan apakah obat tersebut bersifat agonis, agonis parsial, atau
antagonis reseptor α. Suatu jaringan terpisah (isolated tissue), terutama
jaringan otot polos pembuluh darah, digunakan untuk melihat aktivitas
farmakologis dan selektivitas senyawa baru dibandingkan dengan senyawa
referensi. Pembandingan dengan obat-obatan lain juga dilakukan pada preparat in
vitro lain seperti otot polos saluran cerna dan bronkus. Pada tiap tahapan
proses ini, senyawa harus memenuhi persyaratan spesifik untuk dapat maju ke
tahapan selanjutnya. 7
Penelitian pada hewan secara holistik umumnya
diperlukan untuk menentukan efek obat pada sistem organ dan model penyakit.
Penelitian pengaruh semua obat baru terhadap kardiovaskular dan ginjal umumnya
pertama kali dilakukan pada hewan normal. Jika memenuhi standar kelayakan,
penelitian juga dapat dilakukan pada model penyakit. Suatu kandidat obat
antihipertensi akan diujikan pada hewan percobaan dengan hipertensi untuk
melihat apakah terjadi penurunan tekanan darah sesuai dosis (dose-related
manner) dan untuk mengetahui efek lain
senyawa tersebut. Berbagai bukti mengenai lama kerja dan efektivitas senyawa
tersebut baik pada pemberian oral maupun parenteral kemudian akan dikumpulkan.
Jika terbukti berpotensi, zat ini akan diteliti lebih lanjut mengenai
kemungkinan adanya efek samping terhadap berbagai sistem organ utama, termasuk
pernapasan, gastrointestinal, endokrin, dan sistem saraf pusat (SSP). 7
Berbagai penelitian ini dapat memberikan
anjuran mengenai perlu tidaknya dilakukan modifikasi kimiawi lebih lanjut untuk
memperoleh sifat-sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang lebih diinginkan.
Sebagai contoh, penelitian pada pemberian obat secara oral dapat memperlihatkan
bahwa obat ini sukar diabsorpsi atau cepat dimetabolisme dalam hati; modifikasi
untuk meningkatkan bioavailabilitas mungkin diindikasikan. Jika obat
direncanakan untuk digunakan secara menahun, perlu dilakukan kajian mengenai
perkembangan toleransi. Untuk berbagai obat yang berhubungan dengan atau
memiliki mekanisme kerja yang serupa dengan berbagai obat yang diketahui
menyebabkan ketergantungan fisik, potensi penyalahgunaannya juga perlu
diteliti. Mekanisme farmakologik untuk tiap kerja utama obat juga akan dicari. 7
Hasil yang diinginkan dari prosedur skrining
ini (yang mungkin perlu diulang beberapa kali dengan analog atau kongener
molekul aslinya) disebut sebagai senyawa utama (lead compound), yaitu kandidat
utama untuk obat baru yang diperkirakan akan berhasil. Senyawa tersebut umumnya
akan didaftarkan dan dipatenkan baik sebagai senyawa baru (paten mengenai
komposisi suatu materi) yang bermanfaat maupun sebagai pengobatan yang baru dan
berbeda dengan zat kimiawi yang telah dikenal sebelumnya untuk suatu penyakit
(paten mengenai penggunaan). 7
Sumber obat sampai akhir abad 19,
obat merupakan produk organik atau anorganik dari tumbuhan yang dikeringkan
atau segar, bahan hewan atau mineral yang aktif dalam penyembuhan penyakit
tetapi dapat juga menimbulkan efek toksik bila dosisnya terlalu tinggi atau
pada kondisi tertentu penderita. Untuk menjamin tersedianya obat agar tidak
tergantung kepada musim maka tumbuhan obat diawetkan dengan pengeringan. Contoh
tumbuhan yang dikeringkan pada saat itu adalah getah Papaver somniferum (opium mentah) yang sering dikaitkan dengan obat
penyebab ketergantungan dan ketagihan. Dengan mengekstraksi getah tanaman
tersebut dihasilkan berbagai senyawa yaitu morfin, kodein, narkotin (noskapin),
papaverin dll; yang ternyata memiliki efek yang berbeda satu sama lain walaupun
dari sumber yang sama Dosis tumbuhan kering dalam pengobatan ternyata sangat
bervariasi tergantung pada tempat asal tumbuhan, waktu panen, kondisi dan lama
penyimpanan. Maka untuk menghindari variasi dosis, F.W.Sertuerner (1783- 1841)
pada tahun 1804 mempelopori isolasi zat aktif dan memurnikannya, dan secara
terpisah dilakukan sintesis secara kimia. Sejak itu berkembang obat sintetik
untuk berbagai jenis penyakit. 4
Pada permulaan abad ke-20, obat-obat
kimia sintetis mulai tampak
kemajuannya, dengan ditemukannya obat-obat termasyhur, yaitu Salvarsan
dan Aspirin
sebagai pelopor, yang kemudian disusul oleh sejumlah obat lain. Pendobrakan
sejati baru tercapai dengan penemuan dan penggunaan kemoterapeutik sulfanilamid
(1935) dan penisilin (1940). Sebetulnya sudah lebih dari dua ribu tahun
diketahui bahwa borok bernanah dapat disembuhkan dengan menutupi luka
mengguanakan kapang-kapang tertentu, tetapi baru pada tahun 1928 khasiat ini
diselidiki secara ilmiah oleh penemu penisilin Dr. Alexander Fleming. 1
Sejak
tahun 1945 ilmu kimia, fisika dan kedokteran berkembang pesat (mis. sintesa
kimia, fermentasi, teknologi rekombinan DNA) dan hal ini menguntungkan sekali
bagi penelitian sistematis obat-obat baru. Beribu-ribu zat sintetik telah
ditemukan, rata-rata 500 zat setiap tahunnya, yang mengakibatkan perkembangan
revolusioner di bidang farmakoterapi. Kebanyakan obat kuno ditinggalkan dan
diganti dengan obat-obat mutakhir. Akan tetapi, begitu banyak diantaranya tidak
lama ‘masa hidupnya’, karena segera terdesak oleh obat yang lebih baru dan
lebih baik khasiatnya. Namun menurut taksiran lebih kurang 80% dari semua obat
yang kini digunakan secara klinis merupakan penemuan dari tiga dasawarsa
terakhir.
l
apop�>sb0 D
�O6
di secara intraseluler dan ekstraseluler. Jalur ekstrinsik
(ekstraseluler) diinisiasi melalui stimulasi dari reseptor kematian (death
receptor) sedangkan jalur intrinsik diinisiasi melalui pelepasan faktor signal
dari mitokondria dalam sel. Proses apoptosis dikendalikan oleh berbagai tingkat
sinyal sel, yang dapat berasal dari
pencetus ekstrinsik maupun intrinsik . Yang termasuk pada sinyal ekstrinsik antara lain hormon, faktor pertumbuhan, nitric oxide dan
cytokine. Semua sinyal tersebut harus
dapat menembus membran plasma ataupun
transduksi untuk dapat menimbulkan
respon.
Sinyal
intrinsik apoptosis merupakan suatu respon yang diinisiasi oleh sel
sebagai respon terhadap stress dan
akhirnya dapat mengakibatkan kematian
sel. Pengikatan reseptor nuklear oleh glukokortikoid, panas, radiasi,
kekurangan nutrisi, infeksi virus dan hipoksia merupakan keadaan yang dapat m
enimbulkan pelepasan sinyal apoptosis
intrinsik melalui kerusakan sel. Sebelum terjadi proses kematian sel
melalui enzym, sinyal apoptosis harus dihubungkan dengan pathway kematian sel
melalui regulasi protein. Pada regulasi
ini terdapat dua metode yang telah dikenali untuk mekanisme apoptosis , yaitu :
melalui mitokondria dan penghantaran
sinyal secara langsung melalui adapter protein.
1. Ektrinsik Pathway (di
inisiasi oleh kematian receptor)
Pathway
ini diinisiasi oleh pengikatan receptor kematian pada permukaan sel pada
berbagai sel. Reseptor kematian
merupakan bagian dari reseptor tumor
nekrosis
faktor yang terdiri dari
cytoplasmic domain , berfungsi untuk mengirim sinyal
apoptotic. Reseptor kematian
yang diketahui antara lain TNF reseptor tipe 1 yang
dihubungkan dengan protein Fas
(CD95) . Pada saat Fas berikatan dengan
ligandnya, membran menuju ligand
(FasL). Tiga atau lebih molekul Fas bergabung
dan cytoplasmic death
domain membentuk binding site untuk adapter protein,
FADD (Fas –associated death
domain). FA DD ini melekat pada reseptor kematian
dan mulai berikatan dengan
bentuk inaktif da ri caspase 8. Molekul procaspase 8
ini kemudian dibawa keatas dan
kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif.
Enzym ini kemudian mencetuskan
cascade aktifasi caspase dan kemudian
mengaktifkan procaspase lainnya
dan mengak tifkan enzym untuk mediator pada
fase eksekusi. Pathway ini dapat
dihambat oleh protein FLIP, tida k
menyebabkan pecahnya enzym procaspase 8
dan tidak menjadi aktif.
2. Intrinsik (Mitokondrial)
Pathway
Pathway
ini terjadi oleh karena adanya
permeabilitas mitokondria dan pelepasan
molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma,tanpa memerlukan reseptor
kematian. Faktor pertumbuhan dan siinyal lainny a dapat merangsang pembentukan
protein antiapoptosis Bcl2, yang
berfungsi sebagai regulasi apoptosis.
Protein anti apoptosis yang utama
adalah: Bcl-2 dan Bcl-x, yang pada
keadaan normal terdapat pada membrane
mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami stress, Bc l-2 dan Bcl-x
menghilang dari membran mitokondria dan
digantikan ol eh pro-apoptosis protein, s eperti Bak, Bax, Bim. Sewaktu kadar Bcl-2, Bc l-x menurun,
permeabilita s membran mitokondria
meningkat , beberapa protein dapat mengaktifkan cascade caspase. Salah satu
protein tersebut adalan cytoc hrom-c yang diperlukan untuk proses respirasi pada mitokondria. Di dalam cytosol, cytochrom c berikatan dengan protein Apaf-1 (apoptosis activating factor-1) dan mengakti
vasi caspase-9. Protein mitokondria
lainnya, seperti Apoptosis Inducing Fa ctor (AIF)memasuki sitoplasma
dengan berbagai inhibitor apoptosis
yang pada keadaan normal untuk
menghambat aktivasi caspase.
1. Eksekusi
Setelah
sel menerima sinyal yang ses uai untuk apoptosis, selanjutnya organela- organela sel akan mengalami degradasi yang
diaktifasi oleh caspase proteolitik.
Sel yang mulai apoptosis , secara mikroskopis akan mengalami perubahan :
a. Sel mengerut dan lebih bulat , karena
pemecahan proteinaseous sitoskeleton
oleh caspase
b. Sitoplasma tampak lebih padat
c. Kromatin menjadi ko ndensasi dan fragmentasi
yang padat pada membran inti
(pyknotik). Kromatin berkelompok
di bagian perifer , dibawah membran inti
menjadi massa padat dalam berbagai bentuk dan ukuran.
d. Membran inti menjadi diskontinue dan DNA yang
ada didalamnya pecah menjadi
fragmen-fragmen (karyorheksis).
Degr adasi DNA ini mengakibatkan inti terpecah menjadi beberapa
nukleosomal unit
e. Membran sel memperli hatkan
tonjolan-tonjolan ya ng iregular / blebs pada
sitoplasma
f. Sel terpecah menjadi beberapa fragmen , yang
disebut dengan apoptotic bodies.
g.
Apoptotic bodies ini akan difagosit oleh sel yang ada disekitarnya.
2. Pengangkatan sel yang mati
Sel yang mati pada tahap akhir
apoptosis me mpuyai suatu fagositotik molekul pada permukaannya ( cth : phosphatidylserine) .
Phosphatidylserine ini pada keadaan normal berada pada permukaan cytosolic
dari plasma membran, tetapi pada
proses apoptosis tersebar pada permukaan e kstraseluler melalui
protein scramblase. Molekul ini merupakan suatu penanda sel untuk fagositosis oleh sel yang mempunyai reseptor yang sesuai, seper ti
makrofag. Selanjutnya sitoskeleton
memfagosit melalui engulfment pada molekul tersebut. Pengangkatan sel
yang mati melalui fagosit terjadi tanpa
disertai dengan respon inflamasi.