Blog Seputar Cara Menghilangkan Jerawat, Cara Menghilangkan Bekas Jerawat, Cara Menghilangkan Jerawat Secara Alami, Cara Menghilangkan Komedo, Cara Memutihkan Wajah ,Cara Memutihkan Kulit, Cara Memutihkan Gigi, Cara Manfaat Daun Sirsak , Artikel Kesehatan , Makalah Kesehatan, Tips Kesehataan, Skripsi Kesehatan, manfaat dan Khasiat Daun, contoh surat.Contoh makalah

MATERI KESEHATAN UJI KEAMANAN DAN TOKSISITAS PRAKLINIK

Advertisement
Advertisement

MATERI KESEHATAN UJI KEAMANAN DAN TOKSISITAS PRAKLINIK 

UJI KEAMANAN DAN TOKSISITAS PRAKLINIK

Semua obat bersifat toksik pada dosis tertentu. Menetapkan batas toksisitas dan indeks terapeutik antara manfaat dan risiko (risk and benefit) suatu obat secara tepat mungkin merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan suatu obat baru. Sebagian besar kandidat obat gagal dipasarkan, tetapi seni pengembangan dan penemuan obat terletak pada kajian dan manajemen resiko yang efektif, bukan pada penghindaran risiko secara total. 7
Berbagai obat kandidat yang telah melewati prosedur skrining dan penetapan profil awal harus dievaluasi secara hati-hati akan adanya berbagai risiko potensial sebelum dan selama dilakukannya uji klinis. Bergantung pada tujuan penggunaan obat, uji toksisitas pra klinik mencakup sebagian besar atau seluruh prosedur yang tercantum dalam tabel I. Walaupun tidak ada zat kimiawi yang dapat dikatakan sepenuhnya ‘aman’ (bebas dari risiko), tujuan uji ini adalah untuk memperkirakan risiko yang berhubungan dengan keterpajanan terhadap kandidat obat dan untuk mempertimbangkan hal ini dalam hubungannya dengan penggunaan terapeutik dan lama penggunaan suatu obat. 7
Berbagai tujuan penelitian terhadap toksisitas pra klinik antara lain adalah untuk mengidentifikasi potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai uji untuk menetapkan mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling relevan untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai tambahan berbagai penelitian yang tercantum dalam tabel I, diperlukan pula beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no effect’ dose – dosis maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis letal minimum – dosis terkecil yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal median (LD50) – dosis yang mematikan sekitar 50% hewan. Saat ini nilai LD50,diperkirakan dengan menggunakan hewan percobaan dalam jumlah yang sekecil mungkin. Berbagai dosis ini digunakan dalam perhitungan dosis awal yang akan diujikan pada manusia, biasanya diambil seperseratus atau sepersepuluh dari nilai no-effect dose pada hewan. 7
Terdapat berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara lain sebagai berikut:
1.      Uji toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu sekitar 2 sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta memperkirakan indeks terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang memberikan efek terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum dianggap layak uji pada manusia.
2.      Diperlukan sejumlah besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis yang sahih (valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan berbagai kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan dengan tetap mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan jaringan dengan berbagai metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai perkiraan yang dihasilkan masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan masyarakat berusaha untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan percobaan dengan alasan yang tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3.      Ekstrapolasi indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat memberikan perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya. Untuk menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety Testing Consortium, yakni suatu badan yang merupakan gabungan lima perusahaan farmasi terbesar di Amerika Serikat dengan Food and Drug Administration (FDA) sebagai badan penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu pengobatan sebelum diujikan pada manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan berbagai metode laboratorium yang dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4.      untuk kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak mungkin dideteksi.

Tabel I. Berbagai uji keamanan
Tipe Uji
Pendekatan
Toksisitas akut
Dosis akut yang mematikan sekitar 50% hewan percobaan dan dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Biasanya dua spesies, dua rute pemberian, dosis tunggal
Toksisitas subakut
Tiga dosis, dua spesies. Mungkin diperlukan sekitar 4 minggu sampai 3 bulan sebelum uji klinis. Makin lama durasi perencanaan penggunaan klinis, makin lama pula waktu uji subakut
Toksisitas kronik
Spesies hewan pengerat dan bukan pengerat. 6 bulan atau lebih. Diperlukan jika obat dimaksudkan untuk digunakan pada manusia dalam jangka waktu yang lama. Biasanya berjalan bersamaan dengan uji klinis.
Efek terhadap perilaku reproduksi
Efek terhadap perilaku kawin, reproduksi, persalinan, keturunan, cacat saat lahir, dan perkembangan pascanatal pada hewan.
Potensi karsinogenik
Dua tahun, dua spesies. Diperlukan jika obat dimaksudkan untuk digunakan pada manusia dalam jangka waktu yang lama.
Potensi mutagenik
Efek terhadap stabilitas dan mutasi genetik bakteri (Tes Ames) atau sel-sel mamalia dalam kultur; tes letal dominan dan klastogenisitas pada mencit.
Penelitian toksikologi (Investigative toxicology)
Menentukan rangkaian dan mekanisme efek-efek toksik. Menemukan berbagai gen, protein, dan jalur yang terlibat. Mengembangkan metode baru untuk mengkaji toksisitas.

Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon obat tersebut akan melalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh badan pemberi izin. Biaya yang diperlukan dari mulai isolasi atau sintesis senyawa kimia sampai diperoleh obat baru lebih kurang US$ 500 juta per obat. Uji yang harus ditempuh oleh calon obat adalah uji praklinik dan uji klinik. 4
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman. 4
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi :
• Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
• Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas)
• Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas)
• Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji pada manusia. 4
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan, belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in vitro. 4
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki. 4

Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu :
1. Fase I , calon obat diuji pada sukarelawan sehat (25-50) untuk mengetahui apakah sifat yang diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada manusia. Meskipun tujuan dari fase I ini adalah untuk mendapatkan dosis maksimum yang dapat ditoleransi, namun studi fase I ini diatur untuk mencegah keracunan berat. Jika obat yang hendak diuji memiliki toksisitas yang signifikan, seperti pada kasus terapi kanker dan AIDS, pasien sukarelawan dengan penyakit yang berkaitanlah yang digunakan pada fase I dibanding menggunakan sukarelawan normal. Percobaan fase I dilakukan untuk menentukan apakah manusia dan hewan memperlihatkan respon yang berbeda secara signifikan terhadap obat dan untuk menentukan batas rentang dosis klinis aman yang memungkinkan. Percobaan ini “terbuka”; dimana penguji dan subyek mengetahui apa yang diberikan selama percobaan. Banyak dugaan keracunan terdeteksi pada fase ini. Pengukuran farmakokinetik penyerapan, waktu paruh, dan metabolisme biasanya dilakukan pada fase I. Studi fase I biasanya dilakukan pada pusat-pusat penelitian dengan ahli farmakologi klinis yang telah dilatih khusus. 4,7
2. Fase II, calon obat diuji pada pasien tertentu (100-200), diamati efikasi pada penyakit yang diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji stabilitas bentuk sediaan obat. Rentang toksisitas yang lebih luas mungkin saja terdeteksi pada fase ini, dimana uji fase II biasanya dilakukan pada pusat-pusat klinis khusus (misal rumah sakit universitas). 4,7
3. Fase III melibatkan kelompok besar pasien (mencapai ribuan), di sini obat baru dibandingkan efek dan keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui. Selama uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan. Akhirnya obat baru hanya lolos 1 dari lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatannya lebih kecil dari obat yang sudah ada. Sejumlah efek toksik, khususnya yang disebabkan oleh proses imunologis, pertama kali terlihat nyata pada fase III. 4,7
Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur nasional, di Indonesia oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Amerika Serikat oleh FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh EMEA ( European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh TGA (Therapeutics Good Administration). 7
Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut, industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari bentuk produknya (tablet, kapsul dll.) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui kontrol kualitas. 7
Pengembangan obat tidak terbatas pada pembuatan produk dengan zat baru, tetapi dapat juga dengan memodifikasi bentuk sediaan obat yang sudah ada atau meneliti indikasi baru sebagai tambahan dari indikasi yang sudah ada. Baik bentuk sediaan baru maupun tambahan indikasi atau perubahan dosis dalam sediaan harus didaftarkan ke Badan POM dan dinilai oleh Komisi Nasional Penilai Obat Jadi. Pengembangan ilmu teknologi farmasi dan biofarmasi melahirkan new drug delivery system terutama bentuk sediaan seperti tablet lepas lambat, sediaan liposom, tablet salut enterik, mikroenkapsulasi dll. Kemajuan dalam teknik rekombinasi DNA, kultur sel dan kultur jaringan telah memicu kemajuan dalam produksi bahan baku obat seperti produksi insulin dll. 7
Setelah calon obat dapat dibuktikan berkhasiat sekurang-kurangnya sama dengan obat yang sudah ada dan menunjukkan keamanan bagi si pemakai maka obat baru diizinkan untuk diproduksi oleh industri sebagai legal drug dan dipasarkan dengan nama dagang tertentu serta dapat diresepkan oleh dokter. 7
4. Fase IV, setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai usia dan ras, studi ini dilakukan dalam jangka waktu lama untuk melihat nilai terapeutik dan pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat. Setelah hasil studi fase IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika membahayakan, sebagai contoh Cerivastatin suatu obat antihiperkolesterolemia yang dapat merusak ginjal, Entero-vioform (kliokuinol) suatu obat antidisentri amuba yang pada orang Jepang menyebabkan kelumpuhan pada otot mata (SMON disease), fenilpropanolamin yang sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan kontraksi jantung yang membahayakan pada pasien yang sebelumnya sudah mengidap penyakit jantung atau tekanan darah tinggi, talidomid dinyatakan tidak aman untuk wanita hamil karena dapat menyebabkan kecacatan pada janin, troglitazon suatu obat antidiabetes di Amerika Serikat ditarik karena merusak hati. 4,7


b�Ukb0 D �%6 te  untuk adapter protein, 

FADD (Fas –associated death domain). FA DD ini melekat pada reseptor kematian 
dan mulai berikatan dengan bentuk inaktif da ri caspase 8. Molekul procaspase 8 
ini kemudian dibawa keatas dan kemudian pecah menjadi caspase 8 aktif.  
Enzym ini kemudian mencetuskan cascade aktifasi caspase dan kemudian
mengaktifkan procaspase lainnya dan mengak tifkan enzym untuk mediator pada 
fase eksekusi. Pathway ini dapat dihambat  oleh protein FLIP, tida k menyebabkan pecahnya  enzym procaspase 8 dan tidak menjadi aktif. 
2.     Intrinsik (Mitokondrial) Pathway 
Pathway ini terjadi oleh karena adanya  permeabilitas mitokondria dan pelepasan  molekul pro-apoptosis ke dalam sitoplasma,tanpa memerlukan reseptor kematian. Faktor pertumbuhan dan siinyal lainny a dapat merangsang pembentukan protein  antiapoptosis Bcl2, yang berfungsi sebagai  regulasi apoptosis. Protein anti  apoptosis yang utama adalah: Bcl-2  dan Bcl-x, yang pada keadaan normal  terdapat pada membrane mitokondria dan sitoplasma. Pada saat sel mengalami stress, Bc l-2 dan Bcl-x menghilang dari membran  mitokondria dan digantikan ol eh pro-apoptosis protein, s eperti Bak, Bax, Bim.  Sewaktu kadar Bcl-2, Bc l-x menurun, permeabilita s membran mitokondria  meningkat , beberapa protein dapat mengaktifkan cascade caspase.  Salah satu  protein tersebut adalan cytoc hrom-c yang diperlukan untuk  proses respirasi pada  mitokondria. Di dalam cytosol, cytochrom  c berikatan dengan protein Apaf-1   (apoptosis activating factor-1) dan mengakti vasi caspase-9. Protein mitokondria   lainnya, seperti Apoptosis Inducing Fa ctor (AIF)memasuki sitoplasma dengan   berbagai inhibitor apoptosis yang  pada keadaan normal untuk menghambat   aktivasi caspase.
1.  Eksekusi
Setelah sel menerima sinyal yang ses uai untuk apoptosis, selanjutnya organela-  organela sel akan mengalami degradasi yang diaktifasi oleh caspase proteolitik.   Sel yang mulai apoptosis , secara mikroskopis akan mengalami perubahan :
a.  Sel mengerut dan lebih bulat , karena pemecahan proteinaseous sitoskeleton   oleh caspase 
b.  Sitoplasma tampak lebih padat 
c.  Kromatin menjadi ko ndensasi dan fragmentasi yang  padat pada membran inti 
(pyknotik). Kromatin berkelompok di bagian perifer , dibawah membran inti   menjadi massa padat dalam berbagai bentuk dan ukuran. 
d.  Membran inti menjadi diskontinue dan DNA yang ada didalamnya pecah menjadi   fragmen-fragmen (karyorheksis).  Degr adasi DNA ini mengakibatkan inti terpecah menjadi beberapa nukleosomal unit 
e. Membran sel memperli hatkan tonjolan-tonjolan ya ng iregular / blebs pada   sitoplasma 
f.  Sel terpecah menjadi beberapa fragmen , yang disebut dengan apoptotic bodies. 
 g.  Apoptotic bodies ini akan difagosit oleh sel yang ada disekitarnya. 
   
2.  Pengangkatan sel yang mati
Sel yang mati pada tahap akhir apoptosis me mpuyai suatu fagositotik molekul pada   permukaannya ( cth : phosphatidylserine) . Phosphatidylserine ini pada keadaan normal berada pada permukaan cytosolic dari  plasma membran, tetapi pada proses   apoptosis tersebar  pada permukaan e kstraseluler melalui protein  scramblase.   Molekul ini merupakan suatu penanda sel  untuk fagositosis oleh sel yang   mempunyai reseptor yang sesuai, seper ti makrofag. Selanjutnya sitoskeleton   memfagosit melalui engulfment pada molekul tersebut. Pengangkatan sel yang mati  melalui fagosit terjadi tanpa disertai dengan respon inflamasi. 
Facebook Twitter Google+
Back To Top