MAKALAH FARMASI RUANG LINGKUP FARMASI
I.
PENDAHULUAN
Farmasi
didefinisikan sebagai profesi yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan
obat, dari sumber alam atau sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan
digunakan pada pengobatan dan pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan
mengenai identifikasi, pemilahan (selection), aksi farmakologis, pengawetan,
penggabungan, analisis, dan pembakuan bahan obat (drugs) dan sediaan obat
(medicine). Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran dan penggunaan obat
yang sesuai dan aman, baik melalui resep (prsecription) dokter berizin, dokter
gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya dengan cara
menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai [4].
Kata
farmasi diturunkan dari bahasa Yunani “pharmakon”, yang berarti cantik atau
elok, yang kemudian berubah artinya menjadi racun, dan selanjutnya berubah lagi
menjadi obat atau bahan obat. Oleh karena itu seorang ahli farmasi (Pharmacist)
ialah orang yang paling mengetahui hal ihwal obat. Ia satu-satunya ahli
mengenai obat, karena pengetahuan keahlian mengenai obat memerlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai semua aspek kefarmasian seperti yang tercantum pada
definisi di atas.
Bagian
I tulisan ini membicarakan ruang lingkup
farmasi, meliputi perkembangan orientasi farmasi; sejarah farmasi, farmasi
sebagai ilmu dan profesi, karir dan pekerjaan Farmasis, dan pendidikan farmasi.
Perkembangan farmasi suatu negara tercermin dalam kurikulum pendidikan
tingginya, karena kurikulum pendidikan merupakan gambaran kebutuhan masyarakat
akan jenis kemampuan dan keterampilan dalam bidang keahlian tertentu. Oleh
karena itu sebagai perbandingan dibicarakan pula pendidikan Farmasis pada
beberapa perguruan tinggi diluar negeri.
II. PERUBAHAN ORIENTASI FARMASI
Mengikuti perkembangan zaman, telah
terjadi pula perubahan penekanan pada pengertian dan orientasi farmasi. Pada
awalnya profesi farmasi itu dikatakan merupakan seni (arts) dan pengetahuan
(science). Hal ini dapat dilihat pada buku teks yang digunakan di perguruan
tinggi farmasi pada awal pertengahan abad ke-20, yang antara lain berjudul
“Scoville’s The Art of Compounding “ (Seni Meracik Obat), dan “Recepteerkunde”
(Ilmu Resep) karangan van Duin, dan van der Wielen. Definisi obat menurut
Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 tentang Farmasi :
.. obat yang dibuat dari bahan
yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral, dan obat sintetis.
Definisi ini lebih menekankan sumber
atau asal diperolehnya obat.
Perkembangan farmasi setelah itu berorientasi pada teknologi seperti
tergambar oleh buku teks yang populer pada saat itu, dan masih digunakan sampai
sekarang : “ Pharmaceutical Technology” oleh Lachman. Dalam Kebijaksanaan Obat
Nasional (KONAS, 1980) : …… obat ialah bahan atau paduan bahan yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi
dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi.
Definisi
obat ini lebih ditekankan pada tujuan penggunaannya.
Perkembangan
farmasi sangat dipengaruhi pula oleh perkembangan orientasi di bidang
kesehatan. “World Health Organization” (WHO) yang beranggotakan negara-negara
di dunia, termasuk Indonesia, pada tahun 80-an mencanangkan semboyan “Health
for All by the year 2000”, yang merupakan tujuan sekaligus proses yang
melibatkan seluruh negara untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya,
suatu derajat kesehatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat memperoleh
kehidupan yang produktif secara sosial maupun ekonomis. Semboyan tadi
dirumuskan melalui suatu konsep bernama
“Primary Health Care” dalam konperensi internasional di Alma Atta 1978,
sehingga konsep itu dikenal dengan nama Deklarasi Alma Atta. Deklarasi ini
merupakan kunci dalam pencapaian tujuan pengembangan sosio-ekonomi masyarakat
dengan semangat persamaan hal dan keadilan sosial. Perkembangan terakhir pengembangan di bidang
kesehatan pada milenium baru ini ialah konsep “Paradigma Sehat”. Paradigma
sehat, bukan paradigma sakit, berorientasi pada bagaimana mempertahankan
keadaan sehat, bukan menekankan pada manusia sakit yang sudah menjadi tugas
rutin bidang kesehatan. Jadi jelas perkembangan farmasi yang menjadi bagian
dari bidang kesehatan, juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi di bidang
kesehatan.
The
American Society of Colleges of Pharmacy (AACP) [1] mendefinisikan farmasi sebagai ”suatu sistem pengetahuan
(knowledge system) yang merupakan bagian dari pelayanan kesehatan (health
service)”. Memang agak sulit untuk mendefinisikan farmasi secara lengkap,
yang bukan saja melihatnya dari aspek asal atau sumber obat, atau tujuan
pemakaian obat. Pada Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh ISFI/IDI di
Jakarta bulan Maret 1986 [9] oleh
suatu Tim dari Institut Teknologi Bandung telah dikemukakan definisi Farmasi
sebagai berikut :
Farmasi
pada dasarnya merupakan sistem pengetahaun (ilmu, teknologi dan sosial budaya)
yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan melibatkan dirinya
dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan pengetahuan tentang
obat dalam arti dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan pengaruh
obat pada manusia dan hewan.
Untuk
menumbuhkan kompetensi dalam sistem pengetahuan seperti diuraikan di atas,
farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu biologi,
kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini dikaji,
diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.
Sebagian
besar kompetensi farmasi ini diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan
didistribusikan secara profesional bagi yang membutuhkannya.
Pengetahuan
farmasi disampaikan secara selektif kepada tenaga profesional dalam bidang
kesehatan dan kepada orang awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai
obat dan produk obat dapat memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan
dan kesejahteraan umum masyarakat.
Tidak dapat disangkal bahwa sistem pengetahuan
farmasi, karena penerapannya untuk tujuan kesehatan, merupakan bagian yang
berarti secara kuantitatif maupun secara kualitatif dalam setiap upaya
kesehatan.
III. SEJARAH
PERKEMBANGAN FARMASI [4]
Sejak dahulu nenek
moyang bangsa Indonesia
telah mengenal penggunaan obat tradisional (jamu) dan pengobatan secara
tradisional (dukun). Pada zaman itu sebenarnya dukun melaksanakan dua profesi
sekaligus, yaitu profesi kedokteran, (mendiagnose penyakit) dan profesi
kefarmasian (meramu dan menyerahkan obat kepada yang membutuhkannya).
Penggunaan
obat dapat ditelusuri sejak tahun 2000 S.M. pada zaman kebudayaan Mesir dan
Babilonia telah dikenal obat dalam bentuk tablet tanah liat (granul), dan
bentuk sediaan obat lain. Saat itu juga sudah dikenal ratusan jenis bahan alam
yang digunakan sebagai obat. Pengetahuan tentang obat dan pengobatan
selanjutnya berkembang lebih rasional pada zaman Yunani, ketika Hippocrates
(460 S.M.) memperkenalkan metode dasar ilmiah dalam pengobatan. Dalam zaman
Yunani itu dikenal pula Asklepios atau Aesculapius (7 S.M.) dan puterinya
Hygeia. Lambang tongkat Asklepios yang dililiti ular saat ini dijadikan lambang
penyembuhan (kedokteran), sedangkan cawan atau mangkok Hygeia yang dililiti
ular dijadikan lambang kefarmasian.
Perkembangan
profesi kefarmasian pada abad selanjutnya dilakukan dalam biara, yang telah
menghasilkan berbagai tulisan tentang obat dan pengobatan dalam bahasa latin
yang hampir punah itu, sampai saat ini dijadikan tradisi dalam penulisan
istilah di bidang kesehatan. Perkembangan kefarmasian yang pesat pula telah
terjadi dalam zaman kultur Arab dengan terkenalnya seorang ahli yang bernama
al-Saidalani pada abad ke-9.
Namun
demikian tonggak sejarah yang penting bagi farmasi ialah tahun 1240 di Sisilia,
Eropa, ketika dikeluarkan surat
perintah raja (edict) yang secara legal (menurut undang-undang) mengatur
pemisahan farmasi dari pengobatan. Surat
perintah yang kemudian dinamakan ”Magna Charta” dalam bidang farmasi itu juga
mewajibkan seorang Farmasis melalui pengucapan sumpah, untuk menghasilkan obat
yang dapat diandalkan sesuai keterampilan dan seni meracik, dalam kualitas yang
sesuai dan seragam. ”Magna Charta” kefarmasian ini dikembangkan sampai saat ini
dalam bentuk Kode Etik Apoteker Indonesia
dan Sumpah Apoteker. [4]
IV. PENGETAHUAN, ILMU
DAN PROFESI
Semua ilmu
adalah pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu. Manusia
mempunyai perasaan, pikiran, pengalaman, panca indera, intuisi, dan mampu
menangkap gejala alam lalu mengabstraksikannya dalam bentuk ketahuan atau
pengetahuan; misalnya kebiasaan, akal sehat, seni, sejarah dan filsafat. Apa
yang diperoleh dalam proses mengetahui itu dilakukan tanpa memperhatikan obyek,
cara (ways of knowing) dan kegunaannya, maka ini dikategorikan dalam ketahuan
atau pengetahuan, dalam bahasa Inggris disebut ”knowledge”. Ilmu atau ”Science” ialah pengetahuan yang
diperoleh melalui ”metode ilmiah”, yaitu suatu cara yang menggunakan
syarat-syarat tertentu, melalui serangkaian langkah yang dilakukan dengan penuh
disiplin. [8]
IV.1
Farmasi Sebagai Sains
Semua
bentuk pengetahuan dapat dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori
atau bidang, sehingga terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau
disiplin ilmu, yang berakar dari kajian filsafat, yaitu Seni (Arts), Etika
(Ethics), dan Sains (Science). Di satu pihak Farmasi tergolong seni
teknis (technical arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan
obat (medicine); di lain pihak Farmasi dapat pula digolongkan dalam ilmu-ilmu
pengetahuan alam (natural science).
Dalam
tinjauan pengelompokan bidang
ilmu atau kategori
di atas digunakan
kriteria :
1.
Obyek
ontologis. Di sini
ditinjau obyek apa yang ditelaah sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut.
Sebagai contoh, obyek ontologis dalam bidang Ekonomi ialah hubungan manusia dan
benda atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup; obyek telaah pada Manajemen
ialah kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui bersama;
obyek ontologis pada Farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi
terapetik, pengadaan, pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang
memerlukan.
2.
Landasan
epistemologis, yaitu
cara atau metode apa yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
Contoh landasan Epistemologis Matematika ialah logika deduktif; landasan
epistemologis kebiasaan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan
epitemologis Farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
3. Landasan aksiologis, yaitu mempertanyakan apa nilai
kegunaan pengetahuan tersebut. Nilai kegunaan pencak silat, matematika dan
farmasi sudah jelas berbeda. Dalam hal ini nilai kegunaan atau landasan
aksiologis Farmasi dan Kedokteran itu sama karena kedua-duanya bertujuan untuk
kesehatan manusia. [8]
Sebagai
ilmu, Farmasi menelaah obat sebagai ”materi”, baik yang berasal dari alam
maupun sintesis (sama dengan bidang Kimia dan Fisika) dan menggunakan metode
logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti digunakan
pada bidang Ilmu Pengetahuan Alam. Oleh karena itu, Farmasi merupakan ilmu yang
dapat dikelompokkan dalam bidang Sains.
IV.2
Farmasi Sebagai Profesi
Dari
kajian filsafati di atas terlihat bahwa di samping sebagai Ilmu atau Sains,
Farmasi meliputi pula pelayanan obat secara profesional. Istilah Profesi dan
Profesional saat ini semakin dikaburkan karena banyak digunakan secara salah
kaprah. Semua pekerjaan (job, vacation, occupation) dan keahlian (skill)
dikategorikan sebagai profesi. Demikian pula istilah profesional sering
digunakan sebagai lawan kata amatir.
Menurut
Hughes, E.C. [4] :
…..Profesion profess to know
better than other the nature of certain matters, and to know better than their
clients what ails them or their affairs.
Definisi
ini menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua
pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi.
Menurut Schein, F.H. [4]
:
…The
profession are a set of occupation that have developed a very special set or
norms deriving from their special role in society .
Kelompok
profesional dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria
berikut :
1.
Memiliki
Pengetahuan Khusus,
yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini dipelajari
dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
2.
Sikap
dan Prilaku Profesional.
Seorang profesional memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi prilakunya.
Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme)
di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang profesional bukan
bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar agar supaya ia dapat bekerja.
3.
Sanksi
Sosial. Pengakuan
atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk menerimanya. Bentuk
penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi (lincense)
oleh negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan
untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk
melakukan praktek profesional.
Apabila
kriteria di atas diperinci lebih lanjut maka diperoleh sikap dan sifat
sebagai berikut :
1.
Profesi
itu sendiri yang menentukan standar pendidikan dan pelatihannya.
2.
Mahasiswa
yang mengikuti pendidikan profesi tertentu harus memperoleh pengalaman
sosialisasi menuju kedewasaan yang lebih intensif dibanding mahasiswa pada
bidang pekerjaan lain.
3.
Praktek
profesional secara legal (menurut hukum) diakui dengan pemberian lisensi.
4.
Pemberian
lisensi dan dewan penilai dikendalikan oleh anggota profesi.
5.
Umumnya
peraturan yang berkaitan dengan profesi dibentuk dan dirumuskan oleh profesi
itu sendiri.
6.
Okupasi
ini akan berkembang dari segi pendapatannya, kekuasaan, dan tingkat prestise,
sehingga dapat menetapkan persyaratan yang lebih tinggi bagi calon
mahasiswanya.
7.
Praktisi
profesi secara relatif tidak dievaluasi dan dikontrol oleh orang awam.
8.
Norma-norma
praktek yang dikeluarkan profesi itu lebih mengikat dibanding kontrol legal.
9.
Anggota
profesi sangat erat terikat dan terafiliasi dengan profesinya dibanding dengan
anggota okupasi lain.
10. Profesi ini biasanya merupakan
terminal, dalam arti tidak ada yang akan beralih ke profesi lain.
[7]
V. VOKASI
DAN KARIR DALAM BIDANG
FARMASI
Perhatian
utama para dokter, dokter gigi dan dokter hewan yang menulis resep ialah pada
efek obat pada penderita, nilai terapetika, dan toksiologinya. Para perawat bertugas untuk memberikan obat, tanggap
terhadap bentuk sediaan obat, dan terhadap manifestasi toksisnya. Maka ahli
Farmasi (Farmasis) itulah satu-satunya ahli mengenai obat. Ia diberikan
tanggung jawab legal untuk menangani obat dan pengetahuan segala sesuatu
mengenai obat itu adalah tanggung jawab profesinya. Tidak ada program studi
lain selain Farmasi yang memberikan dasar-dasar pengetahuan lengkap mengenai
segala sesuatu yang perlu diketahui tentang obat. Jadi hanya seorang Farmasis
yang mempunya kompetensi keahlian obat secara lengkap.
Farmasis Komunitas (Community Pharmacist)
Farmasis atau Apoteker memberikan
kesan umum bahwa tempat kerja seorang farmasi hanyalah di Apotik, yaitu
salah satu tempat pengabdian profesi seorang Apoteker. Seorang Farmasis di
Apotik langsung berhadapan dengan masyarakat sehingga fungsi tersebut
dikelompokkan dalam Farmasi Masyarakat (Community Pharmacy). Fungsi Farmasis
Masyarakat di Apotik merupakan kombinasi seorang profesional dan wiraswastawan.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 25/80 tentang Apotik, bahwa
Apotik adalah tempat pengabdian profesi seorang Apoteker, maka makin besar
harapan yang diberikan pemerintah kepada para Farmasis, baik dari segi jumlah
tenaga farmasi maupun dari segi kemampuan profesionalnya.
Farmasi
Rumah Sakit (Hospital Pharmacy)
Farmasi Rumah Sakit ialah pekerjaan
kefarmasiaan yang dilakukan di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Fungsi
kefarmasian ini yang sudah sangat berkembang di negara maju, juga sudah mulai
dirintis di Indonesia
dengan pembukaan program spesialisasi Farmasi Rumah Sakit. Jumlah kebutuhan
Farmasis di rumah sakit di masa depan akan semakin meningkat karena 3 hal :
1.
Faktor
pertambahan penduduk.
2.
Meningkatnya
kebutuhan untuk perawatan yang lebih baik di rumah sakit.
3.
Fungsi
dan peranan Farmasis Rumah Sakit akan lebih meningkat dalam berbagai aspek
mengenai penggunaan dan pemantauan obat.
Pedagang
Besar Farmasi (PBF)
Mata rantai sebagai perantara
industri farmasi dan masyarakat dalam hal penyaluran obat ialah Pedagang Besar
Farmasi (PBF). Di luar negeri PBF ini mempunyai tenaga Farmasis terdaftar
sebagai supervisor disebabkan oleh sifat khas produk yang ditanganinya itu
sehubungan dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia hanya
dipersyaratkan tenaga menengah farmasi (Asisten Apoteker = AA) sebagai penanggungjawab,
mengingat belum cukup tersedianya tenaga ahli berpendidikan tinggi.
PBF sangat berperanan sebagai sumber
penyalur obat dari berbagai industri farmasi yang secara cepat dapat melayani
kebutuhan Farmasis Komunitas (Apoteker) untuk secara cepat pula melayani
kebutuhan penderita akan obat. PBF juga mengurangi beban finansial Apoteker
dalam hal menyimpan stok obat dalam jumlah besar dan menjembatani kerumitan
negosiasi dengan ratusan industri farmasi sebagai produsen obat.
Industri Farmasi
Farmasis di industri farmasi terlibat
pula dalam fungsi pemasaran produk, riset dan pengembangan produk, pengendalian
kualitas, produksi dan administrasi atau manajemen. Fungsi perwakilan pelayanan
medis (medical service representative) atau ”detailman” yang bertugas dan
langsung berhubungan dengan Dokter dan Apoteker untuk memperkenalkan produk
yang dihasilkan industri farmasi mungkin juga dijabat seorang Farmasis atau
tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang seorang
Farmasis atau tenaga ahli lain. Namun paling ideal apabila fungsi itu dipegang
seorang Farmasis karena latar belakang pengetahuannya. Saat ini memang tidak
banyak Farmasis yang mengisi jabatan ini karena jumlahnya belum mencukupi, dan
lebih dibutuhkan di tempat pengabdian profesi yang lain. Peningkatan karir
jabatan ini dapat mencapai tingkat supervisor dalam pemasaran produk, dan
direktur pemasaran produk dalam organisasi industri farmasi.
Pada unit produksi dan pengendalian
kualitas (quality control) industri dipersyaratkan seorang Apoteker. Untuk
bidang riset dan pengembangan (R & D = Research and Development) biasanya
diperlukan lulusan pendidikan pascasarjana, meskipun bukan merupakan
persyaratan.
Instansi Pemerintah
Departemen Kesehatan adalah instansi
pemerintah yang paling banyak menyerap tenaga Farmasis, terutama Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Minuman (DitJen POM) dan jajaran Pusat Pemeriksaan
Obat (PPOM) dan Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (Balai POM) di daerah.
Demikian pula Bidang Pengendalian Farmasi dan Makanan pada setiap Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan (sekarang dihapus, hanya ada Dinas Kesehatan
Propinsi) dan jajaran Dinas Kesehatan sampai ke Daerah Tingkat II dan Gudang
Farmasi. Fungsi utama Farmasis pada instansi pemerintah ialah administrastif,
pemeriksaan, bimbingan dan pengendalian. Sejak tahun 2001, telah terjadi
perubahan struktur, Direktorat Jendral POM tidak lagi bernaung di bawah
Departemen Kesehatan, tetapi menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM) yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI. Demikian pula struktur
Balai (besar,kecil) POM di daerah tingkat I, yang langsung berada di bawah
Badan POM, tidak berada di dalam Dinas Kesehatan Propinsi.
Departemen HANKAM, juga memerlukan
Farmasis yang terutama berfungsi pada bagian logistik dan penyaluran obat dan
alat kesehatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan merekrut Farmasis untuk
jabatan dosen di perguruan tinggi. Sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka
fungsi seorang Farmasis ialah dalam bidang pendidikan dan pengajaran,
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Persyaratan untuk diterima menjadi
dosen akan ditingkatkan menjadi lulusan Pascasarjana, atau mempunyai Sertifikat
Mengajar Program PEKERTI/AA (Pengembangan Keterampilan Dasar Teknik
Instruksional/Applied Approach), yaitu program penataran dosen dalam aktivitas
instruksional atau proses belajar mengajar.
Sebagai tenaga kesehatan, seorang
Farmasis atau Apoteker diwajibkan untuk mengabdi pada negara selama 3 tahun
setelah lulus ujian Apoteker sebelum dapat berpraktek swasta perorangan. Wajib
kerja sarjana ini dikenal sebagai Masa Bakti Apoteker (MBA) yang dapat
dilaksanakan pada instansi pemerintah seperti tersebut di atas atau penugasan
khusus dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan sebagai wakil Menteri
Kesehatan di daerah. Dengan dihapuskannya Kantor Wilayah, tugas ini diambil
alih Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
Wartawan Farmasi (Pharmaceutical Journalism)
Profesi ini mulai berkembang di luar
negeri bagi Farmasis yang memperoleh latihan khusus dalam kewartawanan dan
mempunyai bakat menulis dan mengedit. Pekerjaan ini diperlukan oleh instansi
pemerintah atau industri farmasi untuk publikasi, mengedit atau menulis tulisan
yang berlatar belakang kefarmasian.
Manajemen Perusahaan
Khususnya instansi
swasta banyak memerlukan tenaga ahli berlatar belakang kefarmasian dengan
berkembangnya organisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Untuk ini
diperlukan pendidikan tambahan, misalnya Magister Manajemen (MBA = Master of
Business Administration).
VI.
PENDIDIKAN KEFARMASIAN
Pendidikan
Farmasi, khususnya pendidikan tinggi sering berubah dengan perubahan tuntutan
zaman. Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk menghasilkan lulusan yang
lebih berkualitas dan lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat. Khususnya
bidang Farmasi di era reformasi ini semakin banyak didirikan perguruan tinggi
swasta yang menyelenggarakan pendidikan Farmasi. Demikian pula terjadi pada
pendidikan program profesional di bidang
kesehatan, yang semakin dituntut mutu lulusan yang tinggi, sehingga
Sekolah Perawat, Sekolah Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan menjadi
setingkat Akademi (Program D-3 atau D-4), yang dikelola oleh Dinas Kesehatan
Propinsi, dan dikelompokkan dalam Politeknik Kesehatan (POLTEKKES).
VI.1 Sejarah Perkembangan
Pendidikan Farmasi di Indonesia. [6]
Perkembangan
pendidikan tinggi kefarmasian di Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang
Dunia II, Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi Kemerdekaan R.I. Sebelum
Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda hanya terdapat beberapa Apoteker
yang berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Tenaga kefarmasian yang
dididik di Indonesia
hanya setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan tahun 1906.
Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan secara magang ada Apotik yang ada
Apotekernya dan setelah periode tertentu seorang calon menjalani ujian negara.
Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten Apoteker yang pertama dengan penerimaan
murid lulusan MULO Bagian B (Setingkat SMP). Pada tahun 1937 jumlah Apotik di
seluruh Indonesia
hanya 37. Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak Apoteker warga negara asing
meninggalkan Indonesia
sehingga terdapat kekosongan Apotik. Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin
kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik, juga diberi izin kepada dokter
untuk membuka Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah yang belum ada
Apotiknya.
Pada zaman
pendudukan Jepang mulai dirintis pendidikan tinggi Farmasi dengan nama Yukagaku
sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah
menjadi Yaku Daigaku. Pada tahun 1946
dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di Klaten yang kemudian pindah dan berubah
menjadi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Tahun 1947
diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA),
Bandung sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta, yang kemudian
berubah menjadi Jurusan Farmasi, Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei
1959.
Lulusan Apoteker
pertama di UGM sebanyak 2 orang dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini di Indonesia
terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan perguruan tinggi swasta
[6].
VI.2 Sekolah Menengah Farmasi
Dari sejarah
perkembangan kefarmasiaan di Indonesia
tampak besarnya peranan pendidikan
menengah farmasi (Sekolah Asisten Apoteker), khususnya pada saat langkanya
tenaga kefarmasian berpendidikan tinggi. Pada saat peralihan sampai
dikeluarkannya PP 25 tahun 1980, masih dimungkinkan adanya ”Apotik Darurat”
yaitu Apotik yang dikelola oleh Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman
kerja. Tenaga menengah farmasi ini masih sangat diperlukan dan
berperanan, khususnya
pada Farmasi Komunitas, baik di Apotik maupun di Rumah Sakit. Dengan
bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan tinggi, peranan ini akan semakin
kecil, sehingga perlu dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini setingkat
akademi (lulusan SMA). Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai “phasing
out”, ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.
VI.3 Program
Diploma Farmasi
Sejak 1991
telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga farmasi ahli madya dalam bentuk
Program Diploma (D-III) oleh Departemen Kesehatan, yaitu Program Studi Analis
Farmasi. Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan di bidang kesehatan
yang semakin memerluka tenaga ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas, dan
semakin memerlukan diversifikasi tenaga keahlian. Tujuan utama program studi
ini ialah menghasilkan tenaga ahli madya farmasi yang berkompetensi untuk
pelaksanaan pekerjaan di bidang pengendalian kualitas (quality control). Adapun
peranan yang diharapkan dari lulusan program Studi Analis Farmasi ialah:
Melaksanakan analisis farmasi dalam laboratorium: obat, obat tradisional,
kosmetika, makanan-minuman, bahan berbahaya dan alat kesehatan; di industri farmasi,
instalasi farmasi rumah sakit, instansi pengawasan mutu obat dan
makanan-minuman atau laboratorium sejenisnya, di sektor pemerintah maupun
swasta, dengan fungsi :
Pelaksanaan analisis, pengujian mutu,
pengembangan metode analisis dan peserta aktif dalam pendidikan dan penelitian
di bidang analisis farmasi.
Program ini diharapkan
dapat dikelola oleh perguruan tinggi negeri yang mempunyai fakultas atau
Jurusan Farmasi dengan status Program Diploma (D-III). Kemungkinan besar
Sekolah Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat ditingkatkan menjadi
Program Diploma seperti yang diuraikan di atas. [3] Ramalan kami lebih dari
10 tahun yang lalu, sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui ketentuan yang
mengharuskan pendidikan menengah ditingkatkan menjadi Akademi.
VI.4 Pendidikan
Tinggi Farmasi [6]
Perkembangan pendidikan tinggi
Farmasi di Indonesia sejak berdirinya perguruan tinggi farmasi yang pertama di
Klaten dan Bandung, sampai saat ini terdapat 8 pendidikan tinggi Farmasi negeri
dan belasan perguruan tinggi swasta. Menurut catatan tahun 1983 jumlah lulusan
Farmasis (Apoteker) di Indonesia 3552 orang, yang merupakan peningkatan sebesar
350% dari jumlah Apoteker di tahun 1966. Proyeksi jumlah Apoteker pada tahun
2000 adalah 6666 orang berdasarkan rasio 1 Apoteker untuk 30.000 jiwa, hanya
untuk bidang pelayanan saja. (Rasio yang ideal untuk perbandingan kebutuhan
minimum yang lazim diproyeksikan untuk profesi ini di bidang kesehatan ialah 1
: 15.000). Saat ini jumlah Apoteker diperkirakan sebanyak 10.000 orang.
Tantangan pembangunan di bidang
kesehatan, khususnya dalam bidang yang merupakan tantangan bagi Pendidikan
Tinggi Farmasi di Indonesia ialah menghasilkan produk pendidikan tinggi yang
memenui Standar Profesi Apoteker (Standard Operating Procedure = SOP) sebagai
berikut : [5]
-
turut
mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat meringankan
penderitaan akibat penyakit.
-
memberikan
sumbangan untuk mengungkapkan mekanisme terinci dari fungsi normal dan fungsi
abnormal organisme.
-
mengupayakan
obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang dapat memodifikasi penyakit;
memulihkan kesehatan; mencegah penyakit.
-
mengupayakan
obat yang dapat membantu kebehrasilan intervensi dengan cara lain (bukan obat)
dalam upaya kesehatan.
-
menciptakan
metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan fungsional pada manusia.
-
menggali
dan mengembangkan sumber alam Indonesia
yang dapat diperbaharui atau pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan
kefarmasian.
-
menciptakan
cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang harus dipengaruhinya dalam
organisme.
-
mengembangkan
metode untuk menguji, menciptakan norma dan kriteria untuk meningkatkan secara
menyeluruh daya guna dan keamanan obat dan komoditi farmasi, maupun keamanan
lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk kepentingan
kehidupannya.
-
membangun
sistem farmasi Indonesia dan
sistem pengejawantahan profesi farmasi yang efisien dan efektif selaras dengan
konstelasi budaya, geografi dan lingkungan Indonesia .
VI.5
Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maupun perubahan orientasi Farmasi sebagai ilmu dan profesi juga
berkembang mengikuti zaman. Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi mulai berubah
secara drastis pada awal tahun 80-an. Perubahan ini ditandai oleh penerapan
Sistem Kredit Semester, penerapan Kurikulum Inti dalam rangka penyeragaman
pendidikan tinggi Farmasi di seluruh Indonesia, dan terbitnya Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang dikembalikannya fungsi Apotik sebagai
tempat pengabdian profesi Apoteker.
Perkembangan
di era sembilan puluhan dimulai dengan terbitnya Undang-Undang No. 2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 30/Tahun 1990
tentang Pendidikan Tinggi, Konsep Link and Match (1993) oleh DepDikBud; dan di
sektor kesehatan diterbitkan Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Perkembangan terakhir ialah diterbitkannya PP 60/ Tahun 1999 tentang Pendidikan
Tinggi, yang merupakan penyempurnaan PP No.30/Tahun 1990 Tentang Pendidikan
Tinggi, dan PP No.61/ Tahun 1999,
tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum. Peraturan
Pemerintah yang terakhir ini pada dasarnya memberikan otonomi kepada
perguruan tinggi untuk penyelenggaraan pendidikan akademik dan profesional,
yang disertai akuntabilitas (pertanggungjawaban), melalui akreditasi,
yang dilakukan melalui evaluasi, untuk meningkatkan kualitas
secara berkelanjutan. (Paradigma Baru Pendidikan Tinggi , KPPT-JP 1996-2005)
Kebijaksanaan
pemerintah yang tertuang dalam berbagai perundang-undangan itu semuanya mengacu
pada Tujuan Pembangunan Nasional seperti yang tercantum dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mempengaruhi pula arah, tujuan dan orientasi pendidikan
kefarmasian, dan kurikulum pendidikannya.
VI.6 Sistem
Kredit Semester
Sistem Kredit Semester ialah sistem
pengadministrasian pendidikan yang memberikan bobot SKS pada hasil upaya
peserta didik maupun pendidik. Untuk Sarjana Farmasi ditetapkan jumlah bobot
114-160 SKS sebagai suatu kebulatan studi yang dapat diselesaikan dalam 9
Semester, dan 2 Semester untuk program profesi Apoteker.
VI.7 Kurikulum
Inti
Kurikulum Inti Bidang Farmasi
merupakan hasil rumusan Konsorsium Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
DepDikBud pada tahun 1980 yang diberlakukan tahun 1983 dengan SK DirJenDikTi.
Kurikulum Inti (1983) dapat dilihat pada Tabel berikut menurut pengelompokan
mata kuliah dan sebaran SKS :
Kelompok
|
Kurikulum Inti (SKS)
|
Di luar Kurikulum Inti
(SKS)
|
Jumlah SKS
|
Mata
kuliah Dasar Umum (MKDU)
|
6
|
8 - 10
|
14 - 16
|
Mata
Kuliah Dasar Keahlian (MKDK)
|
54
|
11 - 18
|
65 - 72
|
Mata
Kuliah Keahlian Utama (MKKU)
|
54
|
11 - 18
|
65 - 72
|
(Kimia Farmasi
|
12
|
|
|
Farmasetik
|
12
|
|
|
Farmakognosi
|
12
|
|
|
Farmakologi
|
12
|
|
|
Tugas Akhir
|
6
|
|
|
Mata
kuliah Pilihan(MKP)
|
(termasuk mata kuliah di luar
Kurikulum Inti)
|
114
114 - 160
Catatan :
1.
Antara
MKDK dan MKDU dibuat berimbang dengan maksud agar supaya mahasiswa lebih
fleksibel untuk mengembangkan diri baik terjun ke masyarakat, maupun
melanjutkan ke program Pascasarjana.
2.
Masing-masing
MKKU mendapat jumlah SKS yang sama dengan maksud memberi kesempatan yang
seimbang kepada masing-masing bidang untuk berkembang sesuai dengan situasi dan
kondisi masing-masing universitas/institut.
3.
MKP
dapat diisi dengan mata kuliah dalam bidang studi atau di luar bidang studi
untuk memperluas wawasan, juga dimaksudkan untuk diisi dengan mata kuliah yang
sesuai dengan Pola Ilmiah Pokok masing-masing universitas/institut.
VI.8
Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi Tahun 2000
Melalui Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional (MenDikNas) No.232/2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum
Pendidikan Tinggi dan Evaluasi hasil Belajar, dan No.045/2002, tentang Kurikulum
Pendidikan, telah terjadi perubahan mendasar pada penyusunan kurikulum, yang
saat ini ditekankan pada kompetensi lulusan (Competency-Based Curriculum).
Dengan demikian maka perlu diadakan tinjauan kembali mengenai kompetensi yang
akan dirumuskan dalam Tujuan Program Studi Farmasi sesuai dengan elemen
kompetensi seperti diberikan pengelompokannya. Kalau pada kurikulum mata kuliah
dikelompokkan menurut MKDU, MKDK, MKK dan MKP, maka dalam kurikulum 2002
diadakan pengelompokan menurut :
·
Kelompok MPK (mata kuliah pengembangan kepribadian)
·
Kelompok MKK (mata kuliah keilmuan dan ketrampilan)
·
Kelompok MKB (mata kuliah keahlian berkarya)
·
Kelompok MPB
(mata kuliah perilaku berkarya)
·
Kelompok MBB
(matakuliah berkehidupan bermasyarakat)
Pada dasarnya, masing-masing
pendidikan tinggi dapat menyusun kurikulumnya sendiri berdasarkan pedoman tersebut. Kurikulum yang baru ini
sedang dalam proses penyusunannya. Selanjutnya oleh Asosiasi PTFI (lihat di
bawah) telah diterbitkan kesepakatan mengenai Kisi-Kisi Matakuliah Kurikulum
Inti Program Studi Farmasi Tahun 2002, yang berisi silabus dan uraian singkat
masing-masing matakuliah. Kisi-Kisi Mata Kuliah Kurikulum Inti Program Studi
Farmasi 2002 telah disusun untuk mata kuliah :
1)
Biologi
Sel dan Molekul ( 2 SKS )
2)
Mikrobiologi
Farmasi (2+1)
3)
Morfologi,
Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan (2+1)
4)
Anatomi
Fisiologi Manusia (2+1)
5)
Kimia
Analisis (2+1)
6)
Kimia
Fisika (2)
7)
Kimia
Organik (4+1)
8)
Biokimia
(2+1)
9)
Farmasi
Fisika (2+1)
10)Farmasetika Dasar (2+1)
11)Kimia Farmasi Analisis (2+1)
12)Teknologi Sediaan Farmasi (4+2)
13)Biofarmasi (2)
14)Farmakokinetika (2)
15)Kimia Medisinal (2)
16)Farmakognosi (3+1)
17)Fitokimia (2+1)
18)Farmakologi-Toksikologi (4+1)
-------------------------------------------------------------------------------
Jumlah Mata Kuliah = 18
Jumlah SKS = (43
+ 14)
Jumlah Mata kuliah dan Bobot SKS
masih perlu dilengkapi dengan muatan lokal sampai menjadi (144-160) SKS
VI.9 Forum
Komunikasi Pendidikan Tinggi Farmasi Negeri
Sejak 1984 telah dibentuk Forum
Komunikasi oleh pimpinan pendidikan tinggi Farmasi Negeri (Dekan atau Ketua
Jurusan) yang bertemu sekali setahun sebagai wadah sumbang saran dalam rangka
meningkatkan dan mengembangkan pendidikan. Beberapa kesepakatan penting antara
lain :
1.
usaha
penyeragaman status pendidikan tinggi Farmasi menjadi Fakultas Farmasi.
2.
usaha
penyeragaman lulusan Farmasis, khususnya Apoteker dengan menetapkan kurikulum
minimal selain Kurikulum Inti.
3.
pelaksanaan
ujian negara bagi Perguruan Tinggi Swasta (sekarang ini sudah dihapus)
4.
pengembangan
program studi baru, misalnya D-III Farmasi, Pascasarjana Farmasi, dan
Spesialis.
FORKOM PTFN beranggotakan 8 perguruan
tinggi negeri yang menyelenggarakan pendidik Farmasi dan Apoteker. Sejak tahun
2000 perkembangan perguruan tinggi swasta semakin pesat sehingga dibentuk Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi
Indonesia, yang beranggotakan semua pendidikan tinggi farmasi, negeri dan
swasta. Tercatat saat ini perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
Sarjana Farmasi di Indonesia berjumlah 8 (negeri) dan 23 (swasta)
VI.10
Dampak PP 25/80 terhadap Pendidikan
Apoteker
Sejak dikeluarkannya PP 25/80
diwajibkan kepada para Apoteker untuk mengikuti pelatihan tambahan sebagai
Apoteker Pengelola Apotik (APA). Dengan dikeluarkannya PP tersebut maka
kemampuan dan keterampilan Apoteker sebagai Pengelola Apotik perlu
ditingkatkan, khususnya dalam bidang manajemen, komunikasi personal,
farmakologi dan kewiraswastaan dalam rangka peningkatan kemampuan dalam
pengabdian profesi di Apotik. Pelatihan ini dilaksanakan untuk semua Apoteker yang
sudah mempunyai izin kerja dengan pemberian sertifikat Apoteker Pengelola
Apotik (APA). Setelah itu pada tahun 1984 materi kompetensi APA itu
diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan Apoteker.
VI.11 Konsep Link and Match
Dalam rangka pembinaan Sistem
Pendidikan Nasional, sejak Agustus 1993 oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan diumumkan kebijakan keterkaitan (link) dan keterpadanan (match)
sebagai salah satu strategi di bidang pendidikan. Inti dari konsep ini ialah
relevansi pendidikan yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam program-program
pendidikan, sedangkan latar belakang permasalahan yang mendasari konsep ini
ialah kenyataan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara kesempatan kerja menurut
proyeksi penyediaan tenaga kerja (DepTenaKer), dengan luaran pendidikan menurut
tingkat pendidikannya.
Upaya peningkatan relevansi dalam
sistem pendidikan dapat diartikan bahwa hasil pendidikan harus memberikan
dampak bagi pemenuhan dunia kerja, kehidupan di masyarakat, dan melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Upaya peningkatan relevansi ini perlu
dioptimalkan agar lulusan dapat memperoleh keterampilan dan keahlian sesuai
(keterpadanan) kebutuhan masyarakat pada umumnya dan kebutuhan lapangan kerja
(keterkaitan) pada khususnya baik dilihat dari segi jumlah dan komposisinya
menurut keahlian, mutu keahlian dan keterampilannya maupun sebaran serta
efisiensinya.
Dikaitkan dengan konsep DepDikBud
tersebut, pendidikan tinggi farmasi perlu membenahi diri untuk menghasilkan
tenaga yang jumlahnya cukup (kuantitas) untuk mengisi kebutuhan lapangan kerja
yang diproyeksikan, dan lebih meningkatkan kualitasnya lulusan agar mempunyai
keterampilan dan keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pendidikan tinggi farmasi di Indonesia baik
negeri maupun swasta setiap tahun diperkirakan dapat memproduksi lulusan
Apoteker sebanyak 500 orang. Jumlah Apoteker saat ini (1993) diperikirakan 4500
orang. Dengan perhitungan rasio 1 orang Apoteker untuk 20.000 orang, dan
perkiraan penduduk Indonesia pada tahun 2000 berjumlah 200 juta orang, berarti
diperlukan tenaga Apoteker sebanyak 10.000 orang, yang belum dapat dihasilkan
oleh perguruan tinggi di Indonesia (7 tahun @ 500 = 3500 orang). Dari segi kualitas Apoteker
sebagai profesi ang mendapat pengakuan masyarakat, perlu ditingkatkan dan
diadakan diversifikasi menurut keahlian yang sepadan denga kebutuhan
masyarakat. Konsep “Link and Match” saat ini masih dilanjutkan dengan nama
lain.
VII
PENDIDIKAN TINGGI FARMASI
DI LUAR NEGERI [1,2]
Kurikulum pendidikan tinggi Farmasi
dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan kefarmasian (state of the art)
dalam suatu negara, karena perkembangan kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kesehatan, khususnya pelayanan kefarmasian akan diejawantahkan dalam kurikulum
pendidikan tingginya.
Sekedar
melakukan perbandingan, pada tabel di bawah ini disajikan perbedaan pendidikan
tinggi Farmasi di Indonesia dengan beberapa pendidikan tinggi di luar negeri :
|
Farmasis
|
Master
|
Doktor
|
|
4 ½ th.
+ 1 th. profesi
|
+ 2 th.
|
+ 3 th.
|
|
3 th.
+ 1 th. Profesi
(akan diseragamkan 4 th + 1)
|
Master of Pharmacy
+ 2 th.
|
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
|
Amerika Serikat
|
2
th. (Pre- professional)
4
th. (Professional)
Pharm. Doctor)
|
Master of Science
+ 2 th.
|
Doctor of Philosophy
+ 3 th. (Ph.D)
|
Sejak tahun 1996 di Amerika Serikat
hanya ada 1 jalur untuk mencapai profesi Pharmacist, yaitu Pharmaceutical
Doctor yang membutuhkan waktu 6 tahun (2 tahun pre-professional + 4 tahun
professional). Di Australia juga akan diseragamkan lama waktu studi Pharmacist
(Bachelor of Pharmacy = B.P.) menjadi (4 + 1) tahun. Di samping program
pascasarjana di bidang penelitian (Master dan Doctor), sama halnya di
Indonesia, di Australia juga disediakan program Graduate Diploma di bidang
tertentu (Hospital Pharmacy; Industrial Pharmacy) bagi Farmasis yang ingin
meningkatkan keahliannya, khususnya keterampilan.
VII.1 Pendidikan Tinggi Farmasi di Australia [2]
Pendidikan
tinggi Farmasi di Australia secara khusus mendidik calon Farmasis untuk dapat
bekerja sebagai seorang profesional di masyarakat, berbeda dengan di Indonesia yang
mendidik mahasiswa juga sebagai calon peneliti (ada jalur akademik dan jalur
profesi). Yang dapat menjadi peneliti hanya terbatas pada lulusan yang mencapai
Honours Degree (lulusan dengan pujian) agar dapat melanjutkan ke jenjang Master
of Pharmacy atau Doctor of Philosophy. Hal ini tergambarkan pada Tujuan
Pendidikan dan Materi sebagai berikut :
Tujuan
Pendidikan
1.
memahami
ilmu dasar dan terapan yang cukup, agar dengan bertambahnya pengalaman, mampu
mengintegrasikan dan menerapkan pengetahuannya pada lingkungan profesi praktis.
2.
memiliki
keterampilan ”dispensing” dan keterampilan lain yang sesuai agar setelah
menjalani magang (1 th.) dapat berpraktek sebagai Farmasis yang kompeten.
3.
memperoleh
keterampilan berkomunikasi yang cukup untuk berpraktek sebagai Farmasis yang
kompeten dengan bertambahnya pengetahuan.
4.
mengembangkan
ciri, kualitas dan pandangan pribadi terhadap etika dan standar profesi yang
diperlukan untuk berpraktek sebagai profesional di bidang kesehatan secara
bertanggung jawab.
5. mempunyai komitmen untuk
mempertahankan dan mengembangkan pengetahuan dasarnya dengan cara melanjutkan
proses pendidikan selama karirnya.
Pengetahuan
mendalam (detailed knowledge)….
Materi yang diperlukan
untuk pencapaian tujuan di atas yang perlu dikuasai secara mendalam ialah mengenai :
(a) ciri struktur dan sifat fisiokimia
obat sebagai dasar untuk memahami mekanisme molekuler dari aksi obat; faktor
yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi; dan tentang
desain bentuk sediaan.
(b) fisiologi manusia dan farmakologi
sebagai dasar untuk pengobatan penyakit; optimasi pengobatan, menghindari efek
samping, kontraindikasi, efek bertentangan dan reaksi toksis.
(c) formulasi dan pembuatan obat menjadi
bentuk sediaan yang tepat untuk optimasi kemanfaatn terapetik.
(d) penyerahan obat kepada penderita
(individu) sesuai dengan persyaratan legalitas, terapetik dan profesional.
(e) peraturan perundang-undangan tentang
praktek profesional farmasi.
Pengetahuan secara umum (general knowledge) tentang……
(f)
keadaan
penyakit manusia secara umum agar dapat memahami dasar-dasar terapi obat secara
rasional.
(g) pengenalan dan pengobatan penyakit
biasa (minor ailments) dan kemampuan menentukan perlunya merujuk penderita kepada
profesional kesehatan lain.
(h) teknik membimbing penderita dan
berkomunikasi dengan profesi kesehatan lain mengenai penggunaan obat yang
sesuai dan tentang masalah lain yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan.
(i) sumber informasi yang relevan dan
kemampuan untuk mengevaluasi dan menggunakannya secara kritis.
Pengertian
mengenai….
(j)
proses
yang berkaitan dengan pengembangan obat baru dan persetujuan mengenai bahan
obat baru untuk tujuan terapetik.
(k) pereaksi dan uji diagnostik yang umum
digunakan, yang sesuai dengan praktek kefarmasian.
(l)
kedudukan
Farmasi dalam sistem pemeliharaan kesehatan.
(m)bahaya yang berkaitan dengan bahan kimia tertentu yang
umum digunakan.
(n) penggunaan salah dan penyalahgunaan
obat, bahan obat dan zat lain.
(o) nutrisi, yang berpengaruh pada penyakit
dan pengobatannya.
Garis
Besar Matakuliah
Matakuliah
kefarmasian di Australia
itu sifatnya ”berorientasi-obat” dan berorientasi-pasien”, meliputi 4 bidang
utama :
1.
Pharmaceutical
Chemistry (segi kimia dari obat).
2.
Pharmacology
(aksi obat).
3.
Pharmaceutics
(bentuk dan pemberian obat)
4. Pharmacy Practice (aplikasi ketiga di
atas pada praktek kefarmasian)
VII.2
Pendidikan Tinggi Farmasi di Amerika Serikat
Pendidikan Tinggi Farmasi
(Pharmacist) di Amerika Serikat, sejak tahun 1996 telah diseragamkan hanya melalui
1 jalur, yaitu Pharmaceutical Doctor
yang berlangsung selama 6 tahun. Perubahan kurikulum pendidikan ini
disebabkan oleh tuntutan kemampuan profesional seorang Farmasis di masyarakat
yang semakin meningkat dan memerlukan tambahan pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu
dasar dan pengetahuan lain di luar kefarmasian, misalnya pengetahuan mengenai
komputer. Pada saat itu, profesi
Pharmacist menempati ranking teratas paling mulia di mata masyarakat. Hal ini disebabkan karena keahlian dan
kemampuan profesi pharmacist seanntiasa dikaji dan dikembangkan agar lebih
sesuai dengan kebutuhan (link and match).
Kajian tentang perubahan kurikulum pendidikan pharmacist ini dihasilkan
oleh suatu Satuan Tugas Pendidikan Farmasi (Task Force on Pharmacy Education)
yang dibentuk oleh Ikatan Sarjana Farmasi Amerika Serikat (American
Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacists),
yang telah bekerja dalam kurun waktu yang cukup lama.
Standar
Profesi Farmasis [1]
Salah satu
hasil kajian dari Satuan Tugas Pendidikan Farmasi ialah mengenai Standar
Profesi Farmsis (Professional Standards of Practice = SOP) yang rumusan
terakhirnya berbunyi sebagai berikut :
A. Seorang Farmasis hendaknya mampu
bertukar pikiran dengan dokter dan praktisi perawatan kesehatan lain, yang
menyangkut perawatan dan perlakuan terhadap pasien, dan senantisa mempertebal
kepercayaan pasien akan perawatannya. Farmasis hendaknya dapat menghargai
esensi diagnosis klinis dan memahami pengelolaan medis untuk pasien. Farmasis
hendaknya memiliki pengetahuan tentang obat yang akan digunakan terhadap
pengobatan status sakit pasien; mekanisme aksinya, bentuk sediaan dan kombinasi
obat dalam perdagangan; nasib dan disposisi obat; faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kemanfaatan fisiologis dan aktivitas biologis obat dalam bentuk
sediaannya; pengaruh umur, seks atau status sakit sekunder yang dapat
mempengaruhi lancarnya pengobatan; dan kemungkinan interaksi dengan obat lain,
makanan dan prosedur diagnostik yang dapat memodifikasi aktivitas obat.
B. Fungsi keseluruhan Farmasis hendaknya
menghasilkan terapi obat secara maksimum. Farmasis hendaknya memahami
penggunaan yang sesuai dan regimen takaran dari terapi obat yang dilakukan,
kontraindikasi dan kemungkinan reaksi tak diinginkan yang diakibatkan oleh
terapi obat. Farmasis hendaknya mempunyai cukup informasi mengenai kemungkinan
obat paten mana yang interaksinya berlawanan dengan terapi atau mungkin berguna
sebagai tambahan dalam memperbaiki pemberian obat atau perawatan secara
keseluruhan.
C. Farmasis harus mengetahui aksi terapi
obat paten sesuai penegasan (claim) yang dikemukakan, komposisinya dan keunikan
maupun keterbatasan bentuk sediaan tersebut. Farmasis hendaknya mampu menilai
secara obyektif kemampuan suatu produk sesuai iklannya. Jika diminta oleh
pasien, Farmasis hendaknya mampu menegaskan kemungkinan kegunaan terapetik
suatu obat paten sehubungan dengan keluhan pasien.
D. Farmasis hendaknya mampu mereviuw
publikasi ilmiah dan mampu mencari implikasi praktis suatu hasil penelitian
yang berkaitan dengan kegunaan klinis suatu obat. Farmasis harus mampu
menganalisis suatu laporan pustaka percobaan klinis mengenai kesesuaian desain
penelitian dan analisis statistik yang dibuat dari data. Farmasis hendaknya
mampu menyiapkan suatu abstrak yang obyektif mengenai kebermaknaan data dan
kesimpulan si penulis.
E. Farmasis hendaknya merupakan seorang
spesialis mengenai karakteristik kestabilan dan persyaratan penyimpanan obat
dan bahan obat, mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari
bentuk sediaannya, bagaimana tempat pemberian obat atau lingkungan di sekitar
tempat itu pada tubuh dapat mempengaruhi absopsi obat tertentu dari bentuk
sediaan yang diberikan, dan bagaimana kemungkinannya berinteraksi untuk
mempengaruhi aksi awal (onset), intensitas, atau lamanya (duration) aksi
terapetik.
F. Farmasis hendaknya paham benar akan
pengaturan legal tentang pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat. Farmasis
hendaknya mengetahui tentang penggunaan obat yang diizinkan seperti yang
terperinci oleh pejabat negara dan daerah, praktek medis yang benar, dan
tanggung jawab legalnya terhadap pasien dalam penggunaan obat pada prosedur
terapetik eksperimental.
G. Farmasis hendaknya mampu, dengan
terdapatnya bahan sumber yang sesuai, untuk merekomendasi produk obat atau
bentuk sediaan mana yang mungkin secara potensial berguna untuk kebutuhan
terapetik tertentu, dan Farmasis hendaknya secara obyektif mampu mendukung
pilihan yang diambil. Farmasis hendaknya juga mampu untuk mengidentifikasi
produk obat berdasarkan bentuk dan warna yang dirinci, dan mungkin
penggunaannya yang dianjurkan dengan menggunakan bahan sumber yang sesuai.
H. Farmasis akan tanggap, berdasarkan
gejala yang akan diuraikan dalam wawancara dengan pasien, tentang informasi
tambahan yang masih perlu diusahakan diperoleh dari pasien mengenai kondisi
pasien itu. Berdasarkan informasi ini Farmasis hendaknya dapat merujuk pasien
itu kepada praktisi medis yang sesuai, spesialis, atau badan yang paling
berkompeten untuk membantu pasien dalam kasus spesifik. Farmasis hendaknya
memperoleh dan menyimpan kartu data sakit (profil) pasien untuk digunakan dalam
melakukan keputusan farmatesis yang menyangkut perawatan pasien. Melalui
pemanfaatan profil demikian dan materi pembantu yang sesuai, Farmasis hendaknya
melaksanakan program reviuw pemanfaatan obat dalam lingkungan daerah praktek.
Farmasis hendaknya memantapkan dan melaksanakan program untuk memastikan tidak
lalainya pasien menggunakan obat dengan tujuan terapetik.
I. Farmasis hendaknya mempunyai
pengetahuan tentang manifestasi toksis dari obat dan tindakan yang diperlukan
yang merupakan cara terbaik untuk pengobatan gejala keracunan ini.
J. Farmasis hendaknya mampu
berkomunikasi secara efektif dengan pasien mengenai petunjuk mengenai
penanganan yang sesuai dari resep dan obat paten. Farmasis hendaknya mengetahui
tentang pembatasan yang perlu ditekankan pada konsumsi makanan, pengobatan lain
dan aktivitas fisik.
K. Farmaisis hendaknya mampu
berkomunikasi dengan profesional kesehatan lain atau orang awam tentang topik
obat yang baik, masalah kesehatan masayrakat, dan pendidikan kesehatan
perorangan.
L. Farmasis hendaknya mampu untuk
meracik obat yang sesuai atau campuran obat dalam bentuk sediaan yang baik.
M. Farmasis hendaknya mampu untuk
menginterpretasi resep dari penulis resep yang sepatutnya berlisensi, secara
teliti meracik bahan terapetik yang sesuai, memeriksa ketepatan resep yang
sudah selesai sesuai isinya, dan menempelkan label petunjuk sesuai diperlukan
agar membantu pemahaman pasien tentang maksud si penulis resep. Selanjutnya
Farmasis hendaknya memberitahu pasien secara lisan atau tertulis, mengenai efek
merugikan dari obat yang diracik menurut resep, apabila mengandung obat yang
mungkin berbahaya bagi orang yang memakannya. Farmasis hendaknya memastikan
bahwa pasien mengerti betul mengenai petunjuk obat yang ditulis.
N. Farmasis hendaknya memahami prinsip
dan teknik prosesur manajemen yang baik, dan akan memberikan pelayanan
kefarmasian yang efisien untuk memastikan kesinambungan perawatan pasiennya.
Farmasis hendaknya menyadari tentang pertimbangan finansial dari perawatan
kesehatan, dan senantiasa berusaha memberikan perawatan pasien yang
berkualitas.
O. Farmasis akan mengambil
langkah-langkah yang seuai dalam mempertahankan tingkat kompetensi dalam setiap
bidang yang disebutkan di atas.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
(ISFI) pada Kongres Nasional ISFI XV di Semarang, pada tahun 1966 juga sudah
merumuskan Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di Apotik. Hal ini
merupakan sebagia materi pada mata kuliah Perundang-undangan dan Etik, Program
Profesi Apoteker.
Kurikulum Pendidikan Farmasi di
Amerika Serikat 2002
Sejak
1996 pendidikan profesi Farmasis di Amerika Serikat bergelar Doctor of Pharmacy
(Pharm.D.)
berlangsung selama 6 tahun; terbagi atas 2 tahun prasyarat (Prepharmacy) dan 4
tahun magang (residence) untuk program profesional dan pengalaman kerja. Di samping itu ditawarkan juga program Master
of Science (M.S) dan Philosophical Doctor (Ph.D.) dalam bidang farmasi tertentu,
misalnya M.S. in Pharmaceutical Policy and Evaluative Sciences, yang
dapat dilanjutkan ke Program Ph.D. dalam bidang Pharmacoepidemiology,
atau Ph.D. dalam bidang Pharmacoeconomics and Policy. Contoh Kurikulum Pendidikan ialah sebagai
berikut :
A. General College ,
School of Pharmacy ,
University of North Carolina at Chapel Hill
[11]
PREPHARMACY
REQUIREMENTS ( min. 60 Semester Hours Credits)
|
Min.
Sem. Hours
|
Notes
|
English Composition
|
6
|
|
Elementary Statistics
|
3
|
|
Analytical Geometry and Calculus
|
3
|
|
General Biology with Laboratory
|
4
|
|
Genearl Chemistry with Laboratory
|
8
|
All
topics traditionally included in Org.Chem. Courses
|
General
College Physics
|
8
|
All topics incl. in introductory Physics
Course.
|
Microbiology with Laboratory
|
8
|
|
General Education Courses
|
18
|
Six
courses are to be selected : 2 Aesthetic perspective Courses, 2 Historical
Perspective, 1 Philosophical, 1 Social Science perspective
|
Foreign Language
|
6-9
|
|
Physical Education Activities
|
2
|
|
Doctor of Pharmacy
Curriculum (Pharm.Doctor) (UNC at Chapel Hill )
Fall
|
Spring
|
First Professional Year
|
|
|
|
Physiology
|
Pharmacology
I
|
Biochemistry
I
|
Biochemistry
II
|
Basic
Pharmaceutics
|
Basic
Pharmaceutics II
|
Health
Care Systems
|
Pharmaceutical
Care
|
Pharm.Care
Lab.I
|
Pharm.Care
Lab II
|
Second Professional Year
|
|
Community/Hospital
Externship
|
|
Pharmacology
II
|
Pharmacology
III
|
Pharmacotherapy
I
|
Pharmacotherapy
II
|
Literature
Analysis
|
Pharmacotherapy
III
|
ANS
Med. Chem.
|
Pharmacotherapy
IV
|
Pharmacokinetics
|
Applied
Pharmacokinetics
|
Professional
Elective
|
Professional
Elective
|
Pharm.Care
Lab. III
|
Pharm.Care
Lab. IV
|
Third Professional Year
|
|
Pharmacy
Law & Ethics
|
Pharmacy
Operations
|
Pharmacotherapy
V
|
Physival
Assessment
|
Pharmacotherapy
VI
|
Professional
Elective
|
Immunology
|
Professional
Elective
|
Nonprescription
Drugs
|
Prob.in
Pharmacotherapy
|
Professional
Elective
|
Seminar
|
Seminar
|
|
Fourth Professional Year
|
|
Clerkships
|
Clerkships
|
B. University of Minnesota [10]
Program Doktor Farmasi
(Pharmaceutical Doctor Program) mempersiapkan mahasiswanya untuk mengidentifikasi,
mengambil keputusan dan mencegah permasalahan yang berkaitan dengan obat.
Mahasiswa belajar untuk menguasai
perawatan pasien dalam hal menghasilkan terapi obat yang positif, yang
dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Program ini tidak lagi
mempersyaratkan gelar “bachelor”, namun terdapat sejumlah mata kuliah yang
harus dilulusi sebelum memasuki program ini yang dinamakan “pre-pharmacy
requirements” . Program profesi Pharm.Doctor 4 tahun ini merupakan pendidikan didaktik dan praktek, dan
merupakan satu-satunya gelar yang resmi untuk memperoleh izin praktek
kefarmasian di Amerika Serikat.
Lulusan program ini dipersiapkan
untuk memasuki praktek kefarmasian, program pelatihan profesi lanjut, atau
untuk pendidikan lanjut pasca sarjana (graduate education), dan penelitian.
Program ini meliputi ilmu-ilmu kimia, biologi, fisika, sosial, dan klinis yang
mendasari ilmu farmasi. Proses perawatan pasien secara umum digunakan untuk
mengajarkan mahasiswa bagaimana caranya memenuhi kebutuhan akan obat pada
tingkat spesifik-pasien. Mahasiswa mengembangkan keterampilan dalam pemecahan
masalah, komunikasi, dan berpikir analitis. Program ini menekankan pada etika
profesional, tanggungjawab sosial, kewarganegaraan profesional, dan komitmen
pada pendidikan seumur hidup.
Selama tiga tahun pertama kurikulum profesi
diberikan komponen dasar pendidikan farmasi yang diperlukan untuk berpraktek
pada berbagai lingkungan kerja. Mulai tahun kedua, mahasiswa sudah dapat
memilih jurusan yang diinginkannya, dengan cara mengambil mata kuliah dalam
salah satu dari 4 bidang konsentrasi (penekanan), yaitu (a) farmakoterapi umum,
(b) perawatan komunitas dan rawat jalan, (c) manajemen, dan (d) penelitian.
Kebanyakan mata kuliah bidang konsentrasi diambil pada tahun terakhir.
Bidang Konsentrasi :
1)
Farmakoterapi
Umum, mempersiapkan farmasis untuk kegiatan perawatan pasien pada berbagai
lingkungan kerja. Mata kuliah yang wajib meliputi farmakokinetika dan terapi
obat bukan-resep. Mata kuliah pilihan meliputi komunikasi, proses pengembangan
obat baru, manajemen, dan farmakoterapi bagi usia lanjut.
2)
Perawatan
komunitas dan rawat-jalan, mempersiapkan mahasiswa untuk praktek pada farmasi
komunitas (Apotik), dan lingkungan pasien yang tidak dirawat di rumah sakit.
Mata kuliah wajib meliputi manajemen farmasi komunitas, terapi obat
bukan-resep, dan praktek perawatan-jalan.
3)
Manajemen,
mempersiapkan farmasis untuk pekerjaan dalam pengelolaan pelayanan farmasi dan
keuntungan terapi obat. Mata kuliah wajib meliputi manajemen komunitas atau institusional,
review dan manajemen penggunaan obat, dan ekonomi farmasi dan kebijakan publik.
Mata kuliah pilihan meliputi hukum perdagangan, pemasaran, ekonomi kesehatan,
manajemen personalia, dan perilaku organisasi.
4)
Penelitian,
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk berpartisipasi dalam penelitian,
dan mempersiapkan mereka untuk pendidikan pasca sarjana.
Dengan melihat beberapa contoh
program pendidikan dan kurikulum di luar negeri, mahasiswa dapat
membandingkannya dengan kurikulum pendidikan di Indonesia . Tidak tertutup
kemungkinan adanya mahasiswa yang akan melanjutkan studinya di luar negeri,
sehingga pengetahuan dasar ini dapat membantu dalam menentukan pilihannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
American
Pharmaceutical Association, The National Professional Society of Pharmacicts,
“The Final Report of the Task Force on Pharmacy education, Washington DC .
2.
College
Handbook (Nov.1992), MONASH University , The Office of University Development for
the Victorian College
of Pharmacy, Melbourne , Victoria .
3.
Forum
Komunikasi Perguruan Tinggi Farmasi Negeri se Indonesia , Hasil Rapat Tahunan
(1992).
4.
Gennaro,
A.R. [Ed.] (1990) “ Remington’s
Pharmaceutical Sciences”, Mack Publishing Co, Easton , Pennsylvania .
5.
Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia, Keputusan Kongres Nasional XIII, N0.XIII/Kongres
XIII/ISFI/1989 tentang Standar Profesi Apoteker dalam Pengabdian Profesi di
Apotik.
6.
Ketut
Patra dkk. (1988) “ 60
Tahun Dr. Midian Sirait, Pilar-Pilar Penopang
Pembangunan di Bidang Obat”, Penerbit P.T.Priastu, Jakarta .
7.
Smith,
A.K. (1980) “ Principles and Methods of Pharmacy Management”, Second Edition,
Lea Febiger, Philadelphia .
8.
Suryasumantri,
Y.S (1985) “ Filsafat Ilmu, Suatu
Pengantar Populer”, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta .
9.
Wattimena,
J.R. dkk. (1986) makalah dalam Ekspose Perkembangan Ilmu Kesehatan oleh
IDI/ISFI, Jakarta .
10. University of Minnesota
, (2001) “College of Pharmacy Catalog”, the Regents of the University of Minnesota , Catalog On Line.
11. University of North
Carolina at Chapel Hill,
(2002) “ School
of Pharmacy ”, Catalog on Line.