MATERI KESEHATAN PSIKOLOGI MASYARAKAT
Psikologi Masyarakat
Masyarakat dan
kebudayaannya pada dasarnya merupakan
tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang
bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki banyak kebudayaan dengan standar
perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian
individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang
suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok
namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak
yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga
perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola
asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan
membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang
tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun
terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian
yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak
dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain , karena arti dan
pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai
aspek kehidupan, baik perubahan system
ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun
gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan
setempat. Kebudayaan dianggap sebagai
sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu
(nature) dan dalam satu lingkungan
kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara
apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai
anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan
cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses
belajar yang kemudian memunculkan adanya
kepribadian rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas
dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan
tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada
sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep
watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra
psikis individu anggota suatu masyarakat
tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam
masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila ini dikaitka dengan
konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk
menghubungkan kepribadian tipical dari suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan
obyektif masyarakat yang dihadapi suatu
masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja :
1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko
analitik. Teori Erich Formm mengenai
watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori
lainnya mengenai tranmisi kebudayaan
dalam hal membentuk “kepribadian
tipikal’ atau kepribadian
kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi
sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu
kebudayaan dengan kebutuhan obyektif
yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya
kedalam unsur-unsur watak (traits) dari
individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.
Unsur-unsur
watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut
melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka,
sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari
orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisi-kondisi perubahan
masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari 2
proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara
dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir
metaphoric sehingga dapat memperluas
atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang
berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga
kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan
vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat
pendukungnya.
Masyarakat Multikultural dan
Masalah Silang Budaya
Masyarakat
indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak ) dan
heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu
dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya,
demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas
mengindikasi suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan yang
potensial dimiliki oleh suatu masyarakat
yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya :
Struktur sosial yang berbeda akan menghasilkan
pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda, pluralitas dan heterogentitas seperti
diuraikan di atas juga tanpa memperoleh
tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk
mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan
yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
secara sentralistik.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya
berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber
nilai yang memungkinkan terpeliharanya
kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat
pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya
sebagai kerangka acuan bagi
perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad
Hassan, 1998). Sehingga perbedaan
antar kebudayaan, justru bermanfaat
dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat
tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa
telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup
berdampingan secara damai merupakan
kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah
budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya
melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan
dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang
diunggulkannya. Sehingga permasalahan multicultural justru merupakan suatu
keindahan bila indentitas masing-masing
budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta
dapat dihormati oleh kelompok masyarakat
yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila
diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang
“salah kaprah” untuk membengun struktur dan budaya politik yang
sentralistik.
Masalah
yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan
kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya
penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya
daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok
sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan
dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri.
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur
baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan
lain dalam proporsi kemiripannya dengan
kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada
kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok
etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang
yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang
mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah
terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
Ditambahkan
oleh Budiono bahwa ; Dalam masyarakat
selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan
dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah
memperlihatkan bahwa kaum konserfatif
cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan.
Proses itu seringkali tidak berjalan
secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan
kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri. Dalam “masyarakat yang sudah selesai” konflik itu sudah ditempatkan dalam suatu mekanisme yang biasanya merupakan
tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik itu
didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat
berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung
“secara liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk
menyelesaikan/ mengatasi
perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya
dalam bersama-sama mencari mekanisme
itu masing-masing kekutan progresif itu
juga berusaha untuk mencari kekuatan
yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian,
kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi
bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan
pemaksaan fisik.
Dengan
pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat Indonesia
yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh
perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk lebih
menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan
dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan proses-proses
demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology keanekaragaman budaya
atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat
Indonesia adalah penekakanan pada
pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa,
dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai acuan utama bagi jati diri
individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang memiliki potensi pemecah
belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena masyarakat majemuk
menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka
yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan sobyektif. Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan
antar agama yang terjadi, sering kali berintikan pada permasalahan hubungan
antara etnik asli setempat dengan pendatang, konfkil –konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan secara berlebihan
jatidiri etnik untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada
(Hamengku Buwono X. 2001).