Blog Seputar Cara Menghilangkan Jerawat, Cara Menghilangkan Bekas Jerawat, Cara Menghilangkan Jerawat Secara Alami, Cara Menghilangkan Komedo, Cara Memutihkan Wajah ,Cara Memutihkan Kulit, Cara Memutihkan Gigi, Cara Manfaat Daun Sirsak , Artikel Kesehatan , Makalah Kesehatan, Tips Kesehataan, Skripsi Kesehatan, manfaat dan Khasiat Daun, contoh surat.Contoh makalah

DEFISIENSI IMUN PADA INFEKSI HIV

Advertisement
Advertisement
 Defisiensi imun pada infeksi HIV

Infeksi HIV yang persisten dengan berkurangnya CD4+ sel Th merupakan fokus utama pada proses patogenesis dari penyakit AIDS.
 Kejadian tersebut merupakan hal yang terjadi pada defisiensi imun yang menyebabkan penderita peka terhadap infeksi bakteri oportunistik dan berkembang menjadi bentuk kanker maupun gejala penyakit AIDS.
 Berkurangnya jumlah CD4+ sel-T pada darah perifer adalah gejala yang pertama terlihat pada defisiensi imun yang dapat dideteksi pada pasien penderita AIDS. CD4+ sel-T juga merupakan bukti pertama yang dapat terlihat bahwa CD4+ sel-T merupakan target dari Infeksi HIV baik secara invivo maupun invitro. CD4+ glikoprotein pada permukaan CD4+ sel-T dan makrofag pada manusia ditemukan sebagai daya gabung yang tinggi sebagai reseptor virion HIV pada amplop gp120.
 Reseptor esensial untuk HIV {CCR5 (R5) atau CXCR4 (X4), keduanya famili chemokine reseptor} bekerjasama dengan CD4+ untuk memfasilitasi masuknya HIV kedalam sel target.
Berkurangnya jumlah CD4+ sel-T dan bertambah parahnya penyakit AIDS sangat dipengaruhi oleh seluruh bagian dari virus HIV. HIV, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjembatani pengrusakan dan pengurangan jumlah CD4+ sel-T yang matang (yang biasanya secara normal berfungsi untuk menolong/helper kerja CD8+ sel-T) dan juga berkurangnya sel CD4+ progenitor dalam sumsum tulang, thymus dan organ limpoid perifer mengakibatkan gagalnya kompensasi produksi sel-T dan akhirnya menyebabkan kolapsnya sistem imun.
  
Tabel 6.2. Akibat berkurangnya jumlah CD4+ sel-T pada infeksi HIV
Mekanisme
Pengaruh
1)  direct-mediated cytopathic effect
Membunuh sel
Sel fusi dan formasi synsitium
2) Respon imun spesifik
Cytotoxic CD8+ sel-T (CTL)
Antibody dependent sel cytotoxicity (ADCC)
Natural killer (sel NK)
3) Mekanisme lain
Mekanisme autoimun (molekuler mimikri)
Allergy
Super antigen
Program sel mati (apoptosis)

1) “Direct HIV-mediated cytopathic effects” Pengaruh cytopathik dari virus pertama diteliti dalam pembenihan jaringan dari darah perifer pada CD4+ sel-T dan makrofag yang kemudian diinfeksi secara invitro dengan HIV, yang kemudian memperlihatkan adanya kematian sel tunggal dan adanya bentuk fusi dari sel-sel syncitium                  

Kejadian peningkatan aktivitas pembunuhan sel dan merangsang terbentuknya syncitium adalah ciri khas dari isolat HIV yang dapat diperoleh (recovered) dalam pembiakan HIV. Theori lain mengenai  mekanisme cytotoksik dari virus ini termasuk akumulasi dari unintegrated DNA virus yang cytotoksik dan produksi yang berlebihan dari gp120 yang merupakan media sel virus dan fusi dari sel-sel adalah  juga merupakan sitotoksik secara langsung.
2. Spesifik imun respon dari HIV. Secara normal, CD8+ sel-Tc mengenali dan menempel dan membunuh virus yang diekspresikan sel dari protein klas I-MHC. Pengaktivan CD8+ selT adalah sitotoksik terhadap CD4+ selT yang terinfeksi HIV pada ekspresi permukaan kode protein env-, gag-, atau pol- atau sitotoksik terhadap CD4+ selT yang tidak terinfeksi pada perlekatan permukaan protein amplop. Dilain pihak CD8+ sel-T dapat memproduksi chemokin yang dapat menekan replikasi virus dalam kultur jaringan pada CD4+ selT yang terinfeksi secara akut tanpa membunuhnya.
Sebagian besar individu yang terinfeksi HIV mempertunjukkan respon imun spesifik seluler dan humoral. HIV–spesifik cytotoxic CD8+ sel-T secara nyata berperan penting dalam mengontrol infeksi HIV. Sejumlah aktivitas sitotoksik dari sirkulasi HIV-spesifik CD8+ selT berhubungan langsung dengan plasma HIV-RNA pada pasien yang tidak diobati pada fase-fase yang berbeda dari infeksi HIV.
3. Netralisasi dan peningkatan jumlah antibodi. Produksi spesifik antibodi yang mengikat virus dan netralisasi adalah fungsi dari sel-B dan respon imun humoral. Pada infeksi HIV, amplop virus, terutama gp120 sering berbagi epitop dalam V3 loop, adalah target utama antigen untuk respon antibodi dari hospes. Sementara netralisasi antibodi mungkin dapat dideteksi pada beberapa laboratorium penelitian  strain HIV tertentu, titer antivirus terhadap virus pasien tidak selalu konsisten meningkat. Bila infeksi HIV berlanjut pada beberapa pasien, terjadi peningkatan antibodi yang mengikat amplop virus (tanpa merusaknya) dan memfasilitasi masuknya virus kedalam makrofag dan sel NK melalui reseptor IgG Fc- pada permukaan sel tersebut. Antibodi terhadap protein amplop virus dapat juga memicu ADCC dijembatani oleh sel NK dan makrofag.
4. Sel NK. Sel Nk adalah sel lymfoid bergranula yang besar dan tidak mempunyai penanda permukaan yang khas untuk sel-T dan sel-B. Sel NK mempunyai kapasitas alamiah untuk membunuh sel yang terinfeksi virus tanpa bergantung pada sensitisasi dan tanpa protein MHC. Sel NK dapat membunuh sel target secara kontak langsung tanpa antibodi atau oleh ADCC. Dimana ADCC adalah sel target yang menunjukkan permukaan antigen, seperti gp120 atau gp 41, yang dibunuh bila dilapisi oleh antibodi spesifik dan melekat melalui reseptor IgG Fc pada sel NK atau makrofag. Sel NK dan cytotoxic CD8+ sel-T memproduksi pori-pori bentuk molekul disebut “perforin” atau “cytolysin” yang mempunyai struktur dan fungsi mirip dengan C9 dari sistem komplemen yang melekat pada permukaan membran, membentuk terowongan transmembran menyebabkan kematian sel target secara osmotik.              
5. Mekanisme lain.
i)Mekanisme autoimun. Sejumlah variasi autoantibodi (terhadap limposit, platelet, neutrofil, eritrosit, myelin, CD4+, HLA, dan sebagainya) dapat dideteksi dalam serum pasien penderita infeksi HIV.
Tabel 6.3. Sejumlah autoantibodi yang dapat terdeteksi pada pasien penderita AIDS
Autoantibodi terhadap
Gejala klinis
Limposit
Platelet
Neutrofil
Eritrosit
Saraf (myelin)
Nuklei (ANA)
Fosfolipid (lupus antikoagulan)
Myelin basik protein
CD4+
HLA
Berkurangnya CD4+, CD8+ sel-T
Thrombositopenia
Neutropenia
Anemia
Neurophaty perifer
Autoimun syndrom
Thrombosis
Demyelinasi
Berkurangnya CD4+ sel-T
Berkurangnya limposit

Teori mekanisme autoimun termasuk tidak sinkron atau tidak teraturnya mekanisme kerja sel-T dan sel-B dan terjadinya molekuler mimikri (perubahan molekul) seperti tertukarnya sequen asam amino homolog antara protein HIV dengan komponen seluler yang normal, adalah salah satu kemungkinan terjadinya kerusakan sel. Misalnya molekul klas II MHC (terutama HLA-DR dan HLA-DQ), mempunyai sequen asam amino homolog dengan protein amplop dari HIV (terutama gp41), dimana mereka berbagi epitop yang sama. Autoantibodi terhadap protein klas II MHC diduga terekspresikan oleh protein amplop dari virus yang dapat terdeteksi didalam serum penderita. Autoantibodi tersebut dapat mempengaruhi interaksi antara klas II MHC dengan antigen peptida yang diperlukan untuk presentasi makrofag terhadap CD4+ Th secara normal, dimana hal tersebut menyebabkan tidak berfungsi pada pasien penderita infeksi HIV.
ii) Allergi. Virion HIV, gp 120 dan komplek gp120-anti gp 120 yang melekat pada CD4+ dapat mempengaruhi/mengacaukan reseptor sel-T untuk antigen dan menghambat aktivasi CD4+ sel-T. Sebagai akibatnya potensi mekanisme respon imunologik pada penderita infeksi HIV tidak bekerja.
iii) Superantigen. Beberapa jenis antigen (superantigen) asal bakteri (atau retrovirus pada hewan) mempunyai kapasitas langsung melalui rute yang normal dari pemrosesan antigen dan melekat pada resptor antigen sel-T serta merangsang sejumlah besar CD4+ sel-T secara serentak, diikuti dengan penurunan daya imunologi dari sel tersebut sehingga respon imunologiknya berkurang dan akhirnya hilang sama sekali.
iv) Program kematian sel (apoptosis). Secara alamiah program kematian sel terjadi di thymus (pada masa perinatal dari saat pematangan dan pemusnahan responsiv- sel-T) atau dalam sel lain pada masa embryogenesis atau siklus sel normal (pembentukan dan pemusnahan) yang disebut apoptosis. Proses fisiologik ini ditandai dengan perbedaan perubahan struktur dan biokimiawi termasuk fragmentasi sel dan nukleus (oleh nuclear endonuclease), yang tidak disertai necrotik pathologik dan inflamasi. Apoptosis juga dapat dipacu oleh stimuli pathologik, misalnya pada perbenihan CD4+ sel-T baik secara kronik maupun akut diinfeksi dengan HIV akan mati secara apoptosis bila diaktivkan oleh antigen atau mitogen.
Disfungsi sel B
Pada pasien penderita HIV sel-B juga mengalami banyak gangguan fungsi, diantaranya adalah aktivasi policlonal, hypergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan ketidak mampuan merespon antibodi primer dan sekunder (memori) terhadap antigen mikroorganisme seperti bakteri berkapsul sebagai antigen. Tidak normalnya sel B adalah manifestasi dari infeksi HIV fase permulaan. Aktivasi poliklonal sel-B adalah merupakan hal yang biasa pada infeksi HIV dan dapat terjadi pada beberapa infeksi virus lainnya seperti pada infeksi EBV.
Infeksi HIV pada organ limpoid
Akhir-akhir ini telah dilakukan penelitian dengan menggunakan “polymerase chain reaction (PCR)” untuk amplifikasi DNA dan “reverse transcriptase PCR (RT-PCR)” untuk amplifikasi RNA HIV, terlihat jelas bahwa organ limpoid (kelenjar limfe, adenoid dan tonsil) merupakan tempat utama dari infeksi HIV pada fase awal dan periode laten masa infeksi. Frekuensi sel yang terinfeksi HIV pada penderita HIV fase awal dan laten sangat besar (sekitar 5 sampai 10 kali) lebih besar didalam organ limpoid daripada dalam darah perifer. Dengan menggunakan teknik PCR kebanyakan CD4+ dan makrofag adalah terinfeksi laten oleh HIV, dimana dalam sel tersebut mengandung HIV DNA tanpa ekspresi dari HIV RNA. Seperti telah diterangkan sebelumnya infeksi laten dalam CD4+ dapat diaktivkan oleh antigen (dari virus lain atau antigen lain), mitogen, cytokin tertentu dan faktor pertumbuhan, yang kemudian HIV akan memulai meningkat produksinya.
Dengan menggunakan elektron mikroskop, virion HIV terlihat pada ruang ekstraseluler selama proses pembentukan “follicular dendritic cells (FDC)” didalam pusat hiperplastik germinal didalam kelenjar lymfe dari pasien dengan gejala infeksi HIV fase awal. FDCs adalah CD4 negatif, non-fagositik, merupaka antigen-trap (dan presenting) sel retikuler yang mempunyai Fc- atau C-reseptor untuk antibodi atau pelapis komplemen virion HIV. Pada saat berkurangnya respon imun dan disertai meningkatnya gejala infeksi HIV, bentuk struktur (architecture) dari kelenjar liymfe, germinal senter dan FDC mengalami pengkerutan, hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan virus dalam plasma darah (viremia).
Usaha pengobatan HIV

Sampai sekarang penelitian mengenai pengobatan HIV masih terus berlanjut, sementara obat antivirus yang diperoleh seperti “nucleoside reverse transcriptase inhibitor (RTi), “nucleoside analog (AZT)”, dan sebagainya telah dicobakan dan hanya dapat memperlambat transmisi HIV dalam tubuh dan menunda infeksi bakteri oportunis.
Facebook Twitter Google+
Back To Top