MATERI KESEHATAN
MATERI
POKOK:Metabolisme karsinogen dan enzim – enzim yang berperan:a. Benzo (a)pyren
b. Benz (a) anrasen
c. Dialkilnitrosamin
d. Aflatoxin
e. Estragol
f.
Safrol
A.
Benzo(a)pyren
Merupakan
komponen asap dari kelompok senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic
aromatic hydrocarbons -PAH) yang bersifat karsinogenik. Struktur kimia dari senyawa ini relatif
stabil karena memiliki sistim pi terlokalisasi (pada gugus aromatiknya). Ketika daging dimasak di atas bara
(pengasapan panas), sebagian lemak daging yang menetes pada bara api akan
teroksidasi oleh CO2 and H20, membentuk hidrokarbon
aromatik polisiklik. Komponen ini lalu
dibawa oleh asap ke daging yang sedang diasap dan terakumulasi di permukaan
daging yang diasap.
Jika
dikonsumsi, maka hati akan mengoksidasi komponen benzo-a-pyrene dan PAH lainnya
menjadi berbagai komponen, diantaranya adalah epoksida. Bentuk diol epoksida benzo-a-pyrene merupakan
komponen toksik yang jika terdapat dalam jumlah besar bisa menyerang DNA
(membentuk ikatan kovalen dengan DNA).
Konsumsi
satu porsi produk pangan dengan kadar benzo-a-pyrene besar (bar-BQ, sate, ikan
asap), mungkin tidak akan menjadi masalah. Tubuh manusia mempunyai enzim khusus
yang bisa mengeliminasi molekul benzo-a-pyrene. Masalah akan terjadi, jika
produk ini dikonsumsi terus-menerus sehingga terjadi akumulasi senyawa ini
didalam DNA dalam jumlah besar, sehingga dapat menyebabkan kanker. Untuk mencegah masalah ini, hendaknya dijaga
agar lelehan lemak daging tidak jatuh ke bara api, sehingga tidak terjadi
reaksi pembentukan komponen PAH yang bersifat karsinogenik ini. Caranya, dengan memisahkan antara proses
pembentukan asap dengan lokasi pengasapan sehingga lelehan lemak daging tidak kontak
dengan bara api.
Reaksi
pembentukan benzo-a-pyrene selama pengasapan dan produk turunannya melalui
metabolisme di dalam hati dapat dilihat pada Gambar 1.
B. Benz (a) antrasen
Definisi: senyawa organic industri pencemar yang berasal dari kelompok
hidrokarbon aromatic dengan polisiklik ( PAHs ).
D.
Aflatoxin
Aflatoxin
merupakan senyawa yang diproduksi oleh jamur dari genus Aspergillus.
Aspergillus ini dapat ditemukan secara luas pada setiap jenis makanan,
Aflatoxin merupakan toxin yang berbahaya bagi liver (hati) kita, pada konsumsi
makanan yang mengandung Alfatoxin dalam jangka waktu lama aflatoxin ini dapat
menyebabkan Sirosis hati dan bahkan kanker hati. Bahan karsinogenik pada
aflatoxin memiliki kekuatan 100 kali lipat daripada nitrosamine. Secara
alamiah, Aflatoxin terdiri dari 4 komponen induk yaitu aflatoxin B1 (AFB1),
aflatoxin B2 (AFB2), aflatoxin G1 (AFG1) dan aflatoxin G2 (AFG2).
Aflatoksin
berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Aflatoxin dihasilkan oleh
jamur aspergillus flavus, A. paracitikus dan Penicillium puberulum, bersifat
sangat beracun dan karsinogenik. Jenis jamur ini banyak terdapat di mana-mana
sehingga dapat mudah mencemari tanaman di tempat manapun. Namun, produksi
aflatoxin tergantung pada faktor iklim saat tanaman tertentu tumbuh dan
disimpan sebagai bahan baku ransum. Di daerah tropis dan subtropis, resiko
pencemaran Mikotoksin pada tanaman selalu lebih tinggi karena iklim tropika
mempunyai kadar air dan kelembapan yang relatif tinggi. Jamur ini memerlukan suhu
36, 2-37, 8 darjah C dan kelembaban relatif 80-85% untuk pertumbuhan optimal
dan memproduksi racun. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang
Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960.
A.
flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin
B 1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) sedangkan A. parasiticus menghasilkan AFB 1, AFB 2,
AFG 1, dan AFG 2. A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu
yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120 C sampai 42-43 0◦C dengan suhu optimum
320-330 C dan pH optimum 6.
Diantara
keempat jenis aflatoksin tersebut AFB 1 memiliki efek toksik yang paling
tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik
sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan
sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat
immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh. Di Indonesia,
aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk- produk
pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999).
Selain
itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak
seperti susu (Bahri et al ., 1995), telur (Maryam et al ., 1994), dan daging
ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang
pesakit (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanser hati karena
mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin.
AFB 1 ,
AFG 1, dan AFM 1 terdapat pada contoh hati dari 58% pesakit tersebut dengan
kepekatan di atas 400 µg/kg. Perubahan patologi anatomi yang dapat diakibatkan
oleh aflatoksin adalah: hati dan limpa membesar, radang dan bengkak pada
duodenum (usus kecil). Hati kelihatan pucat akibat penimbunan lemak dan
perdarahan berbentuk titik-titik. Jaringan limfoid (bursa Fabricius dantymus)
mengecil. Ginjal dan kantung empedu biasanya membesar dan terjadi perdarahan
usus. Lemak pada ampela dan lemak tubuh yang lain berlebihan. Pada kasus kronis
kronis, hati mengecil, keras dan terdapat nodula berisi getah empedu.
E.
Estragol
Estragole (p-allylanisole, metil
chavicol) adalah phenylpropene, senyawa organik alami. Struktur kimia yang
terdiri dari cincin benzena diganti dengan grup methoxy dan grup propenyl. Ini
adalah sebuah isomer anethole, berbeda sehubungan dengan lokasi ikatan ganda.
Mempunyai ciri cairan tak berwarna.
F.
Safrol
Safrole
(5-(2-propenyl)-1,3-benzodioxole) adalah senyawa fenil propana salah satu
golongan dari senyawa aromatik fenilpropanoid. Untuk itu Safrole mempunyai
cincin benzena yang diapit oleh cincin dioxolane dan gugus metilen terminal
yang sangat reaktif.
Biomarker
Safrole dapat berupa 1’-hidroxysafrole. Biomarker ini dapat di ambil dari
contoh hati dan urin tikus percobaan ditreatment oleh safrole. Selain itu biomarker dan hasil metabolisme safrole dapat
berupa dihydrosafrole (p-n-propil-methylenedioxybenzene), isosafrol
(1-propenil-3,4methylene dioxy benzene), dan eugenol (4-alil-2-metoksifenol)
(Heikes 1994).. Tes genotosisitas konvensional, termasuk pertukaran kromatit
dan tes mikronukleus, menyatakan toksisitas safrol positif in vitro, dan dalam tes in vivo
safrole sudah dapat ditetapkan dosis karsinogeniknya, baik melalui
menggabungkan safrol ke diet dan injeksi (Jin et al., 2011; SCF 2002). Safrole
diserap secara pasif dari saluran pencernaan, tetapi diperkirakan bahwa safrole
tidak beracun dalam bentuk tetapnya. Aktivitas metabolik safrole untuk turunan
karsinogenik yang dapat disederhanakan menjadi empat transformasi yang berbeda.
Transformasi yang pertama,
melibatkan oksidasi rantai samping alil dalam sitokrom P450 oleh enzim CYP2A6
untuk membentuk 1'-hydroxysafrole. Senyawa ini dapat menjalani sulfasi untuk
membentuk 1'-hydroxysafrole sulfat (Daimon et al, 1997/8,. De Vries 1997;
Jeurissen et al, 2004;.. Zhou et al, 2007). Reaksi elektrofilik, ester asam
sulfat membentuk DNA adduct safrole pada sel hepatoma manusia (HepG2) dan
menginduksi formasi kanker (Liu et al, 1999;. Miller et al, 1983;.. Zhou et al,
2007). DNA adduct safrole menyebabkan induksi pertukaran kromatid dan penyimpangan kromosom, yang menyebabkan
kesalahan dalam replikasi DNA dan mutasi yang memiliki kemungkinan
karsinogenesis, serta sitotoksisitas (Daimon et al., 1997).
Transformasi yang kedua, berada dalam jalur yang
berbeda dengan bahan kimia karsinogenesis yaitu stres oksidatif, yang
menyebabkan penggabungan selama replikasi DNA. Safrol dapat menjalani
pembelahan cincin dioxolane untuk membentuk hydroxychavicol
(4-alil-1,2-Dihydroxybenzene), yang ditunjukkan dalam studi Benedetti terdapat
pada metabolit tikus dan manusia.
Benedetti et al, meneliti efek
safrole pada manusia dengan paparan oral. Hydroxychavicol, dideteksi ada pada
saat menyirih, memiliki potensi untuk mengubah ke elecrophiles reaktif
orto-kuinon atau para-kuinon methide. Metabolit ini lebih lanjut dapat
bertransformasi menjadi spesies oksigen reaktif yang dapat menyebabkan
kerusakan oksidatif. Hydroxychavicol lebih beracun dari safrol dan telah
terkait dengan disfungsi mitokondria. Kerusakan diprakarsai oleh hydroxychavicol
juga dapat dicegah secara in vivo dengan antioksidan seperti vitamin E (Liu et
al., 1999).
Transformasi ketiga melibatkan epoksidasi safrole
dengan ikatan rangkap dari kelompok propenil untuk membentuk safrol-2 ',
3'-epoksida (de Vries 1997).
Transformasi keempat adalah oksidasi gamma dari
rantai samping alil mengarah ke asam karboksilat, yang dapat konjugasi dengan
glisin. DNA adduct safrole yang berikatan dengan glisin ini adalah N
2-(trans-isosafrol-3'-il) 2'-deoxyguanosine dan N 2-(safrol-1'-il)
2'-deoxyguanosine (Gupta et al., 1993).
Safrol
dan isosafrol bersifat karsinogenik pada mencit dan tikus, mereka menghasilkan
tumor hati setelah pemberian oral. Safrol juga menghasilkan tumor hati dan
paru- paru pada bayi mencit jantan setelah penyuntikan. Dihydrosafrole
diberikan secara oral bersifat karsinogenik pada tikus, di mana ia menghasilkan
tumor esofagus.
Karsinogenitas
safrole dimediasi melalui pembentukan 1’ -hidroxysafrole, dan diikuti oleh
sulfonasi pada ester asam sulfat yang tidak stabil yang bereaksi dan menjadi
DNA adduct Safrole yang lebih stabil. 1’-Hidroxysafrole, dideteksi pada hati,
urine dan cairan empedu dari hewan yang diberikan safrole. Namun,
1’-Hidroxysafrole tidak dideteksi pada manusia dengan 1,66 mg Safrole. Teknik
yang dapat digunakan adalah teknik 32P-post-labeling, dengan teknik ini dapat
ditentukan adanya DNA adduct safrole pada jaringan oral pengguna daun sirih.